Part 10

22.3K 1.3K 34
                                    

                                                                                                   ***

" Pikirkan baik – baik Nona. Jika ingatanmu kembali, bisa jadi ini akan jauh lebih mengerikan dari apa yang sering hadir dalam mimpimu."

Perkataan dokter Swen beberapa jam yang lalu masih berputar dengan begitu jelas di kepalaku, membuat rasionalitasku pada akhirnya berada di titik paling dasar sehingga terlalu sulit untukku mengambil sebuah keputusan tentang apa yang harus aku lakukan setelah ini. Sungguh, Jika bisa ku gambarkan, Saat ini aku tengah berada di sebuah persimpangan yang sangat membingungkan. Ada dua pilihan jalan di hadapanku, satu jalan dengan cahaya yang sangat terang namun ada gumpalan awan hitam yang bisa membuat segalanya menjadi gelap, sementara satunya adalah jalanan yang gelap gulita tanpa ada sedikitpun pencahayaan, namun di ujung sana ada seberkas cahaya yang meredup, bisa jadi itu akan perlahan mati atau justru sebaliknya, bersinar terang.

Dan kini aku berada di keadaan yang mana mengharuskanku untuk memilih jalan mana yang akan ku ambil. Gelap gulita? Atau jalan terang?

" Bas, menurutmu apa yang harus aku lakukan?"

Aku bertanya begitu melihat Bastian turun dari tangga dengan langkah santai. Lelaki itu berhenti sejenak untuk menatapku kemudian menghela napas panjang.

" Kau mau jawaban seperti apa dari ku Davina?" Tanyanya, setelah duduk tenang di sampingku. Di sofa panjang yang menghadap televisi.

Aku mengangkat kedua bahuku, kemudian merebahkan tubuhku di sofa dan menjadikan paha Bastian sebagai bantalannya. " Aku yakin, kau pasti tau apa yang ingin ku dengar Bas."

Bastian mengangguk pelan. " Semua keputusan ada di tanganmu sayang." Katanya, mengusap kepalaku dengan lembut. " Karena kau sendiri yang akan menghadapinya. Bukan aku ataupun orang lain." Lanjutnya dengan tenang.

Aku mendesah panjang. " Kau membuatku semakin bingung, sungguh."

" Jangan terlalu gegabah, pikirkan baik – baik karena ini tidak akan mudah."

" Astaga Bastian kalau itu aku juga tau." Kataku, setengah kesal.

Bastian menarik napas panjang kemudian menghelanya perlahan. " Tanyakan pada dirimu sendiri, seberapa siap kalian untuk menghadapi resiko terburuknya."

Untuk sesaat aku diam, mencoba mencerna ucapan Bastian dengan sisa – sisa kewarasanku. Tapi jika di pikir – pikir apa yang di katakan Bastian ada benarnya, kunci dari semua ini adalah kesiapanku sendiri. Kesiapanku untuk menghadapi kenyataan yang belum pernah ku bayangkan.

" Lalu menurutmu apa aku sudah siap?"

Bastian menggeleng, matanya fokus pada televisi.

" Darimana kau bisa tahu?" Aku mengernyit menatapnya binggung sekaligus penasaran.

" Tingkah lakumu kemarin malam." Katanya santai sambil memasukkan popcorn kedalam mulut.

Aku kembali diam untuk beberapa saat, kemudian beranjak bangun dan duduk tegak dengan pandangan lurus kedepan.

" Kita tidak bisa menjadikan mimpi burukku sebagai patokan kesiapanku Bas."

Bastian mengelengkan kepalanya, tidak setuju. " Justru itu yang menjadi tolak ukur kesiapanmu Dav. Bagaimana kau menghadapi mimpimu itulah yang menjadi patokan kesiapanmu menerima kenyataan."

" Mana bisa begitu, mimpi kan hanya bunga tidur Bas."

Bastian mendesah panjang. " Memang benar, mimpi hanya bunga tidur. Tapi untuk kasusmu itu sedikit berbeda Davina. Ingat, kami hanya bisa mengendalikan alam bawah sadarmu saat kau dalam keadaan sadar. Hipnotis itu hanya bisa bekerja saat kau dalam keadaan sadar seperti sekarang. Kau paham?"

FORBIDDEN SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang