BAB 33

10.4K 778 137
                                    

** *

Tak terasa waktu berlalu dengan begitu cepat, tiga bulan sudah aku menghabiskan hari – hariku bersama Rachael. Mengabdikan seluruh waktu yang ku miliki dengan terus berusaha untuk menjadi ibu terbaik untuk putri semata wayangku. Selama itu pula aku begitu menikmati proses demi proses yang ku lalui. Perubahan demi perubahan yang tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Bagaimana aku yang dulunya sangat sulit untuk bangun pagi, kini harus bangun pagi – pagi sekali, membuatkan sarapan untuk Rachael, menyiapkan semua kebutuhan Rachael, mengantarnya kesekolah kemudian menjemputnya, menemani Rachael bermain hingga membacakan dongeng pengantar tidur untuk Rachael. Semuanya ku lakukan dengan penuh suka cita, tidak ada rasa lelah sedikitpun yang kurasakan.

Seperti pagi ini misalnya, meskipun semalam aku baru bisa memejamkan mataku di atas pukul satu dini hari karena harus menyelesaikan beberapa desain untuk fashion brand milikiku, namun khusus pagi ini aku sengaja untuk bangun pagi – pagi sekali, lebih pagi dari biasanya (mungkin sekitar jam 4 pagi ) khusus untuk membuatkan sarapan yang sudah di pesan oleh Rachael tadi malam saat aku menemaninya tidur.

"Morning." Sapaan dengan suara serak ( khas bangun tidur ) yang tak lama kemudian di susul dengan kecupan lembut di pipi kananku membuat kegiatanku yang sedang menggiling adonan terhenti untuk sesaat. Aku menolehkan kepalaku kesamping kemudian tersenyum kecil saat kepalanya berada di bahuku, membuat hembusan nafas hangatnya mengeletik kulit leherku.

"Morning, kenapa sudah bangun? Jetlag?"aku bertanya sembari mencium pucuk kepalanya. Menggesekkan ujung hidungku ke rambutnya yang kini terlihat lebih panjang dari terakhir kali aku melihatnya, kira – kira dua minggu yang lalu sebelum dia berangkat ke Belanda untuk keperluan bisnis.

Pria itu mengangguk lemah sambil melepaskan lilitan tangannya di pingangku. "Sarapan apa pagi ini?"

Aku menghendikkan daguku pada benda yang sedang ada di tanganku. "Pain au chocolat," jawabku, memasukkan adonan ke dalam lemari es. "Mau aku buatkan kopi?" tawarku kemudian.

Dia mengangguk pelan. "Boleh."

Setelah mencuci tangan, dengan cekatan aku mengeluarkan cangkir kopi dari tempatnya, menuangkan 2 sendok teh kopi arabika kemudian menambahkan air panas ke dalam cangkir tersebut.

"Merci," katanya saat aku meletakan kopi pesanannya.

Pria itu terlihat begitu lelah dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Tubuhnya juga tidak terlihat seperti biasanya, lebih kurus kurasa. Mungkin selama di Belanda dia kehilangan beberapa kilo berat badannya selain itu bulu – bulu halus di sekitar dagunya di biarkan tumbuh hingga dia terlihat sedikit lebih seksi di mataku.

"Sampai jam berapa semalam?"

Dia mengangkat bahunya. "Hampir setengah tiga mungkin."

Aku mengangguk mengerti kemudian kembali fokus untuk menyelesaikan pekerjaanku.

"Tidur lagi sana," pintaku saat lagi – lagi dia memelukku dari belakang.

Dia menggeleng. "Aku ada meeting pagi ini."

Aku mendecakkan lidah. "Memangnya tidak bisa di wakilkan? Kau baru saja sampai, ambil libur barang satu hari untuk istirahat. Kau terlihat sangat kurus, kau tahu?"

Bukannya mengangguk untuk menuruti permintaanku pria itu justru terkekeh kecil sambil terus menciumi pipiku. "Sudah lama sekali rasanya aku tidak mendengarmu marah - marah Davina."

"Aku serius, kau harus banyak istirahat."

Kali ini dia mengangguk pelan dengan sebuah senyum tipis di bibirnya. "Aku tau, hari ini hanya ada satu meeting dengan beberapa investor. Setelah itu aku pulang, nanti biar Rachael aku yang jemput."

FORBIDDEN SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang