BAB 31

11.7K 942 78
                                    

***

Sudah lebih dari lima belas menit berlalu dan hening masih setia menyelimuti suasana di antara kami, menciptakan ruang kosong yang tanpa sadar sudah kami ciptakan entah sejak kapan. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri begitu pula dengan Azka. Pria itu hanya diam menatapku dengan sorot mata yang berbeda dari biasanya. Tidak ada sorot mata datarnya yang khas apa lagi sorot mata setajam Elang miliknya.

"Selama kita bersama, apakah pernah sekali saja aku menuntut sesuatu darimu?" Suara Azka kembali terdengar setelah lama diam, membuatku tanpa sadar menghembuskan napas lega yang entah sejak kapan ku tahan. Aku benar – benar tidak sadar melakukan itu.

"Apa aku pernah memaksamu melakukan sesuatu yang bahkan tidak kau suka?"

Aku menggeleng sebagai jawaban. Aku sadar seperti apa kebersamaan kami selama ini. Tidak pernah sekalipun pria itu menuntut ataupun melarangku untuk melakukan sesuatu. Dia justru terlalu cuek bahkan cenderung tidak peduli dengan apa yang ku lakukan. Dia tidak pernah menegur bentuk pakaian apa yang ku kenakan, dia lebih sering membiarkanku untuk melakukan apapun yang ku sukai. Oleh sebab itu pula kami tidak pernah terlibat dalam pertengkaran karena mendebatkan sesuatu, satu – satunya pertengkaran kami hanyalah masalah waktu dan itu hanya terjadi di awal – awal hubungan dan sejak itu hubungan kami terlalu tenang tanpa ada goncangan yang berarti. Tapi bukankah dengan begitu hubungan akan terasa datar, tidak ada warna? Karena beberapa orang bilang, pertengkaran dalam sebuah hubungan itu seperti bumbu dalam masakan.

"Sekarang dimana masalahnya Dav? Kau tau betul kalau selama ini aku tidak pernah menuntut apapun darimu. Lalu alasan apalagi yang membuatmu tetap kekeuh untuk berpisah?"

Aku mengulas senyum getir. "Jelas ini berbeda Ka. Ini bukan lagi tentang kegemaranku yang suka memakai baju serampangan, bukan lagi tentang kebiasaanku yang hanya mandi satu kali dalam sehari. Bukan lagi tentang kekeras kepalaanku yang sering kau keluhkan. Tapi ini soal anak, soal calon penerusmu. Dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa memberikanmu itu."

Ku dengar pria itu menggeram pelan. "Demi tuhan aku tidak akan pernah mempermasalahkan hal itu. Asal kau tetap di sampingku, itu sudah lebih dari cukup untukku. Aku tidak butuh anak kalau itu hanya akan membuatku kehilangan dirimu."

"Oh ya aku lupa kalau kau sudah memiliki William," kataku dengan senyum getir yang tak sanggup untuk ku sembunyikan. "Calon penerusmu yang sempurna," lanjutku sebelum beranjak dari duduk.

Sejak lima menit yang lalu hati kecilku memperingatkan dengan keras bahwa secepatnya aku harus angkat kaki dari sini. Dan memang benar, aku harus segera pergi sebelum aku semakin mempermalukan diriku sendiri di hadapannya. Sekarang bukan lagi waktu yang tepat untuk menunjukkan betapa tersakitinya aku atas pengkhianatannya. Pengkhianatan? Aku bahkan mulai ragu apakah keberadaan William merupakan bentuk pengkhianatan pria itu padaku. Kenyataan jika hubungan kami selama ini berada di zona abu – abu membuatku sadar untuk tidak menuntut Azka setia hanya kepadaku. Dan mengingat itu membuat hatiku kembali sesak, seperti ada palu godam yang baru saja kembali menghantam hatiku.

"Kau mau kemana?" tanya Azka saat aku hendak menekan handle pintu.

Aku menoleh kemudian melepaskan cekalan tangannya di tanganku. "Aku harus menjemput Rachael."

Pria itu maju selangkah lalu melingkarkan tangannya di pinggangku dan menarik tubuhku untuk semakin dekat dengan tubuhnya. Matanya menggelap, menandakan emosi kembali mengusai dirinya. "Pembicaraan kita belum selesai."

Aku menghela napas lelah. "Apalagi yang harus kita bicarakan Ka? Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan disini karena semuanya sudah sangat jelas untukku."

"Kenapa kau tidak mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu?"

Aku mengerutkan keningku, tiba – tiba merasa lucu. "Penjelasan mana yang kau maksud? Karena yang aku lihat dan aku pahami sampai detik aku berangkat ke Bali bersama Rachael dan Jackob tak ada sedikitpun keinginanmu untuk memberikan penjelasan padaku, tentang apapun itu."

FORBIDDEN SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang