BAB 29

11.7K 982 43
                                    

***

Suasana kantin Kulkov Magazine yang semula terlihat ramai mendadak hening begitu Azka memasuki area kantin dengan wajah tegang tanpa senyum di wajahnya. Beberapa sapaan dari karyawannya dia hiraukan begitu saja membuat beberapa kasak – kusuk mulai terdengar walau secara samar. Langkah kakinya berhenti untuk beberapa saat, mengedarkan pandangannya ke sepenjuru kantin kemudian menarik tanganku menuju bangku kosong yang berada di pojok kantin.

"Mau makan apa?" tanya Azka ketika pandangan matanya mengarah pada deretan stand makanan yang ada di tempat ini, suaranya terdengar datar tidak bersahabat.

Aku menggeleng pelan. "Aku sedang tidak ingin makan."

Keningnya mengkerut dengan mata tajam menatapku. "Tapi kau harus makan Davina," desisnya terdengar begitu kasar di telingaku. Aku menghela napas lelah, kemudian mengalihkan pandanganku untuk kembali menatap matanya.

"Tidak bisakah kita kembali ke studio dan melakukan photoshoot?" tanyaku, mengabaikan kata – katanya.

Ku pikir dia marah karena tiba – tiba saja dia melangkah pergi meninggalkanku sendirian di tengah tatapan penasaran beberapa karyawannya namun lima menit kemudian dia kembali dengan membawa sepiring siomay bandung yang terlihat begitu lezat di mataku. Membuat perutku yang semula kenyang mendadak terasa begitu lapar.

"Jangan harap ada photoshoot sebelum kau menghabiskan makananmu," katanya setelah meletakkan salah satu makanan kesukaanku di atas meja kemudian mendudukan tubuhnya di bangku kosong tepat di hadapanku. Dalam diam aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat, mengamati setiap gerak – geriknya yang nampak asing di mataku. Dia tidak seperti Azka yang ku kenal (walaupun pada kenyataannya akupun tidak mengenalnya dengan baik), Azka yang sekarang ada di hadapanku adalah sosok asing untukku. Dia seperti bunglon yang mudah berubah – ubah. Sedetik dia begitu menyenangkan sedetik kemudian terasa begitu menjengkel. Dia tertingkah seolah – olah ada sesuatu yang menahannya. Pengendalian diri yang biasanya dia biliki dengan begitu baik sekarang sirna tak berbekas, menghilang tanpa jejak.

"Makan Davina..."

Kesal, aku memutar mataku sambil meraih garpu yang ada di tempat seharusnya kemudian memasukkan potongan telur ke dalam mulutku dan mengunyahnya dengan pelan, sangat pelan. Sudah kukatakan bukan jika aku sedang tidak nafsu makan?

"Rachael bagaimana kondisinya?" tanya Azka setelah diam sejak tiga puluh menit yang lalu. Dia tidak lagi bersuara setelah mendapat telepon dari seseorang yang tidak ku ketahui identitasnya. Hanya ada sederetan nomor asing namun nampaknya pria itu cukup tau siapa yang menelfonnya.

"Sudah jauh lebih baik, hari ini dia sudah boleh pulang."

Dia menganggukkan – menganggukan kepalanya dan tiba – tiba saja aku teringat pesan Jackob siang tadi.

"Oh ya Jackob minta nomor rekeningmu," kataku sambil mendorong piring kosongku kemudian meraih gelas lemon tea dan meneguknya perlahan, membiarkan kesegaran mengalir di tengorokanku.

Dia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel kemudian menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Untuk apa?"

Aku mengangkat bahuku, acuh tak acuh. "Entahlah, mungkin dia ingin menganti biaya rumah sakit Rachael."

"Aku tidak butuh uangnya," desisnya kemudian menyimpan ponselnya kedalam saku. "Ayo..."

Aku mengangguk kemudian beranjak dari dudukku, bergerak cepat ketika tangannya akan meraih pinggangku untuk di peluk.

"Banyak orang," kataku sebelum melangkahkan kakiku menuju lift terdekat.

Ketika lift datang semenit kemudian aku bergegas masuk terlebih dahulu dan berdiri di pojok lift sambil menekan panel untuk membuat pintu lift tetap terbuka. Azka masuk bersama dua perempuan yang sedari tadi menatap Azka dengan pandangan memuja.

FORBIDDEN SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang