****
Ada empat hal yang sangat aku benci dalam hidupku, yang pertama aku benci ketika aku harus menunggu lama, lalu yang kedua aku benci ketika aku di buat penasaran, ketiga aku benci ketika aku di bohongi dengan alasan apapun dan yang terakir aku benci ketika keadaan mengharuskanku sendirian di tengah – tengah keramaian tanpa ada satu orangpun yang aku kenal. Oke yang terakhir mungkin aku tidak benar – benar membencinya, aku hanya merasa tidak nyaman. Kalian bisa bayangkan betapa risihnya ketika mendapati beberapa pasang mata menatap dirimu dengan berbagai macam ekspresi yang mereka tunjukkan di hadapanmu. Bahkan yang lebih parahnya lagi, bagaimana mereka tanpa sungkan menatapku seolah – olah aku ini terdakwa khasus asusila, sesekali melirik kearahku dengan mulut yang tak henti berkasak – kusuk. Dan itu sangat menyebalkan, serius.
" Permisi nona." Seseorang menghampiri mejaku dan berdiri tepat di sampingku. Aku menoleh kemudian mendongakan kepalaku ke atas dan mendapati seorang pria muda tengah menatapku sembari tersenyum sopan. Seorang perawat dengan nametag Bagas Prawira di dada kanannya.
" Sekarang jam control dokter, lebih baik anda segera kembali ke ruang inap anda." Lanjutnya masih dengan senyum sopan, cenderung ramah menghiasi wajah tampannya.
Aku mengangguk kemudian merapikan barang - barangku. " Terima kasih." Kataku, beranjak berdiri.
" Mau saya antar kembali ke ruangan anda?" Tawarannya langsung aku jawab dengan gelengan kepala.
" Terima kasih, tapi saya bisa sendiri." Jawabku, sesopan mungkin. Tak ingin membuatnya tersinggung.
Pria itu mengangguk – angukan kepalanya. " Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu. Semoga lekas sembuh..." Kata – katanya terhenti, matanya melirik lengan kiriku. " Nona Davina." Lanjutnya sebelum bernar – benar beranjak pergi, meninggalkanku.
Tanpa sadar aku tersenyum kecil. " Terima kasih Bagas." Bisikku yang ku yakini tidak akan pernah di dengar oleh pria itu, namun aku salah pria itu menoleh lalu tersenyum secerah mentari ke padaku.
Aku mengeleng tidak percaya tanpa menghilangkan senyum di wajahku, dan setelah sosoknya tak lagi tertangkap oleh indera penglihatanku, aku bergegas melangkahkan kakiku meninggalkan area kantin yang masih terlihat ramai walaupun jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
" Dari mana saja kau?"
Oke kali ini aku terkejut bukan main, aku bahkan sampai membanting pintu karena saking kagetnya. Ya tuhan, siapa yang akan menyangka jika sekembalinya aku dari kantin justru di sambut dengan bentakan keras dari Azka. Aku tidak tau apa yang salah, namun saat melihat ekspresi wajahnya yang mengeras, persis seperti orang yang menahan marah seketika itu juga nyaliku menciut seujung kuku.
Dengan perasaan sedikit was – was, aku berjalan kearahnya. " Aku dari kantin yang ada di bawah Ka." Kataku pelan, mencoba setenang mungkin.
Azka menghembuskan napasnya dengan kasar, secara berulang. Nampak sekali jika dia tengah mencoba mengatur emosinya. " Kenapa tidak menungguku?"
Sekalipun masih ada sisa – sisa amarah dalam suaranya namun kali ini nada suaranya terdengar lebih tenang, tidak sekeras tadi. Dalam hati aku bersorak gembira, lega bukan main.
" Aku bisa sendiri Azka." Aku berjalan ke arah ranjang dan membaringkan tubuhku di sana. Kenyamanan langsung menghampiri punggungku yang lelah." Lagipula aku tidak ingin merepotkanmu terus." Lanjutku sembari menoleh ke arahnya.
Namun yang kudapati justru pemandangan yang tak ku duga sebelumnya, Wajahnya kembari mengeras dengan sorot mata tajam menatapku, bibirnya terkatup rapat tak mengeluarkan sepatah katapun dan detik itu juga aku menyadari jika aku sudah membangunkan macan yang hampir tertidur. Kata – kataku kembali memancing emosinya yang coba ia redam.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN SCANDAL
RomanceSebagian bab di Private secara acak **** Satu hal yang aku tau, jika satu - satunya sumber kebahagiaanku adalah hidup bersama Azka. Pria yang berhasil menjungkir balikkan duniaku hanya karena sentuhannya yang memabukkan. Sentuhan yang selalu me...