39. Heartbeat

175 24 4
                                        


.

.

.

.


Langit Seoul perlahan mulai memucat. Semburat oranye berbaur dengan kilau merah yang perlahan memudar menjadi merah muda, menggantung rendah di atas balkon apartemen Watanabe Haruto. Sang Alpha memasukkakn kode pintu dengan satu tangan, sementara tangan lain memegang dua kantong makanan dari restoran kesukaan Junkyu. Haruto ingat Junkyu pernah mengatakan kalau ia sangat ingin makan tangsuyuk dan jjajangmyeon dari sebuah restoran china kesukaannya waktu SMA, dan sayang sekali, banyak hal yang terjadi di hidup mereka pasca menikah sampai-sampai tangsuyuk terlupakan begitu saja.

Haruto menyeimbangkan kantong-kantong makanan dengan bahunya, melepas sepatu dengan cepat lalu masuk.

"Junkyu?"

Panggil Haruto pelan, namun tak ada jawaban. Biasanya Junkyu akan muncul dari dapur dengan wajah malas atau duduk-duduk di sofa ruang tamu dengan piyama sinchan-nya—mengomel kenapa Haruto sangat lama mengantri sebuah tangsuyuk dan jjajangmyeon. Tapi kali ini...hening. Sang Alpha melangkah masuk. Kamar utama tak sepenuhnya tertutup, ia mendorong pintunya perlahan, dan mendapati Junkyu tidur di atas ranjang—miring ke jendela, wajahnya pucat dan selimut menutupi setengah badannya.

Haruto mendekat, meletakkan punggung tangan di dahi Junkyu. "...Panas,"gumamnya. Ia segera ke dapur, mengambil handuk kecil dan semangkuk air hangat. Tangannya bergerak tenang, seperti sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Ia tidak bertanya kenapa Junkyu sakit. Tidak bertanya sejak kapan—hening, ia hanya mengganti handuk berkali-kali, menyuapkan air pelan lalu menyelimutinya kembali dalam diam.

Tak lama kemudian, mata Junkyu terbuka perlahan—sayu dan merah.

"Kau sudah pulang..." ucap Junkyu lemah, hampir terdengar seperti bisikan.

Haruto tersenyum tipis sembari mengganti handuk kecil di dahi Junkyu, "Iya...aku sudah pulang. Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau tidak enak badan?,"

Junkyu tersenyum lemah, "Aku takut merepotkanmu," Haruto duduk di sisi ranjang, tidak menjawab—jemarinya membetulkan letak selimut di bahu Junkyu, memastikan tidak ada udara dingin masuk. Haruto tahu, Junkyu sedang teramat sibuk dengan memulai kembali bisnis keluarga Aaralyn yang sempat goyah. Banyak juga yang harus Junkyu lakukan dan pelajari sebagai pasangan dari seorang Watanabe. Dan atas beberapa saat Haruto sempat berpikir, kalau ia sendiri tidak disibukkan dengan urusan The Serenity, pasti Junkyu akan baik-baik saja—

"Kau sama sekali tidak merepotkan, Kyu-yaa." Kata Sang Watanabe akhirnya. Junkyu menatapnya lama dengan mata sayu, entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Dan untuk arti tatapan itu adalah—entah, Haruto juga tidak paham. Maka sang Alpha klan Crescent itu berdiri dari pinggir ranjang, lalu berucap.

"Tidurlah, aku bangunkan jika buburnya sudah matang,"

***

Watanabe Haruto menyandarkan punggungnya ke dinding kamar—duduk di atas lantai yang untungnya berlapis karpet bulu. Lampu meja menyala redup, menyorot wajah Junkyu yang tertidur tak tenang di atas ranjang. Dahi Junkyu masih sedikit berkeringat, tubuhnya sesekali bergerak gelisah di balik selimut. Haruto sudah mengganti handuk hangat beberapa kali, menyuapi bubur sedikit-sedikit, dan memastikan suhu tubuh Junkyu menurun perlahan tapi stabil. Namun, Haruto tidak tenang.

Dan untuk alasan itulah Haruto masih tetap terjaga.

Detik jam terdengar pelan. Di sela itu, napas Junkyu terdengar pendek dan terputus.Haruto menatap jam dinding—masih pukul 02.34.

• Manille • HarukyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang