.
.
.
Hari-hari setelah malam di balkon itu terasa...pelan dan datar.
Haruto tetap bangun lebih pagi. Junkyu tetap menyiapkan sarapan. Mereka tetap menonton TV seperti biasa selepas makan malam—Tapi tidak ada obrolan tentang kontrak, tentang perpisahan, atau tentang tatapan berat di meja makan tempo hari.
Seperti tak pernah ada yang terjadi.
Dan justru karena itulah, semuanya terasa menjadi janggal.
Kim Junkyu menyingkirkan bantal tambahan dari sofa setiap malam—padahal dulu ia membiarkannya, untuk berjaga-jaga jika Haruto tertidur di sofa ruang tengah. Haruto mulai menaruh jas kantornya di kamar tamu, bukan lagi meletakkannya sembarangan di kursi kamar mereka berdua seperti biasa. Berjarak, namun tidak dapat dijelaskan.
Tak ada pertengkaran, Tak ada perdebatan.
Tapi tak ada juga kehangatan.
Dan dari semau rasa di dunia, mungkin itu yang paling sulit ditelan.
Lampu dapur menyala lembut, menyorot lantai kayu yang bersih dan aroma tumisan yang memenuhi ruangan. Haruto membuka pintu apartemen dengan bahu, jas kerjanya terlipat di lengannya, dais longgar tergantung di leher. Ia menghembuskan napas panjang—hari ini penuh tekanan, investor menuntut, Mark mengomel dan angka laporan naik-turun seperti rollercoaster
Tapi begitu ia masuk perlahan, dunia jadi lebih tenang.
Junkyu berdiri di depan kompor, mengenakan kaus abu-abu kebesaran dan celana pendek hitam. Rambutnya yang mulai panjang dikuncir keatas seadanya, telinganya sedikit memerah karena uap panas.
"Aku masak," ucap si omega tanpa menoleh.
Haruto menjatuhkan jasnya ke sofa, berjalan pelan ke dapur. Ia berdiri tepat di belakang Junkyu. begitu dekat dan Junkyu bisa merasakan napas panas Alpha itu menyapa telinganya.
"Ini sungguhan Kim Junkyu? Kim Junkyu yang itu?—" gumam Haruto setengah menggoda, dihadiahi dengusan Junkyu .
"Kim Junkyu yang apa memangnya?" Haruto tertawa rendah mendengar jawaban Junkyu yang selalu mudah terpancing dengan ajakan adu mulutnya, padahal Junkyu itu jika kesal terlihat sangat lucu di mata Haruto.
Haruto diam dan menggumam pura-pura berpikir, "Kim Junkyu yang manis kalau marah-marah itu, mungkin?"
"Haha, lucu. Duduk sana, aku tuang sup-nya."
Haruto duduk di meja makan segera seperti anak patuh, menyandarkan tubuh. Matanya mengikuti Junkyu yang kesana-kemari dengan lincah. Bahunya yang mungil, cara ia meniup sendok sebelum mencicipi sup, dan bagaimana tangan kirinya otomatis menata alat makan dengan cepat.
Seperti rumah.
Sial. Seperti rumah.
Mereka makan dengan tenang, dengan beberapa candaan Haruto dan Junkyu yang menanggapi dengan begitu baik, sesekali tertawa pelan. Di udara malam itu, ada sesuatu yang perlahan berubah. Bukan lewat setiap kata mereka, tapi cara mereka memandang satu sama lain. Sedikit lebih lama, dan tidak ada dari mereka yang mengalihkan pandangan lebih dahulu.
***
Setelah makan malam, Junkyu membersihkan meja dengan lincah. Haruto menyandarkan tubuh ke sofa, kancing kemeja atasnya dibuka, napasnya perlahan kembali teratur. Namun bukan rasa lelah yang menahannya untuk tetap duduk. Ada sesuatu di udara, sesuatu yang janggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
• Manille • Harukyu
FanfictionManille;membelenggu Hanya sebuah kisah tentang Watanabe Haruto,putra klan Crescent,dengan ambisinya dan Kim Junkyu,sang mawar dari klan Aaralyn,dengan segala garis nasib yang membelenggunya.Tentang sang Alpha dan sang Omega,tentang cinta,takdir,rasa...
