43. The Bed of Himeros

131 13 6
                                        


.

.

.

.

Langit Seoul mulai gelap, satu per satu cahaya kota berpendar—hingga sepenuhnya gelap telan langit, dengan perhiasan bintang berkelip.

Alpha Crescent itu menyandarkan punggung lelahnya di sudut lift yang membawanya naik menuju kediamannya, tutup mata sejenak rasakan lelah seperti mengalir hingga ujung tubuhnya. Ia buka mata, menatap Lily putih dalam genggamannya—dan senyumnya tersungging kecil.

Hari itu biasa saja, tidak ada yang spesial.

Haruto meletakkan tas kerjanya di sofa, berikut jas biru tua-nya seperti biasa. Aroma minyak wijen menyambutnya dari dapur. Ada Junkyu, sibuk dengan apron biru-nya, berdiri memunggunginya. Begitu dengar langkah lebar itu mendekat—ia tak menoleh, biarkan sepasang lengan peluk pinggangnya dari belakang, disertai hela napas yang lewati telinganya.

" Haru-ya—" sapa Junkyu, tapi tidak menoleh. Seolah sudah begitu terbiasa, Junkyu ambil sesendok kecil kuah supnya, sodorkan pada sang Alpha yang dengan senyuman cicipi rasa sup mandu. Hangat,menenangkan.

"Enak." Ujar Haruto sembari bubuhkan kecupan di pelipis sang omega.

"Mandi dulu sana, baru makan."

Malam itu berjalan seperti biasanya. Mereka makan malam dengan tenang, diselingi obrolan ringan—tentang hal-hal biasa, Junkyu dengan kesehariannya ada di toko pastry milik sang Ibu, Haruto dengan kesibukannya di kantor The Serenity—berpindah dari satu rapat ke rapat lain. Tidak ada obrolan yang terlalu serius. Ini yang Haruto sukai, masakan rumahan, Bunga Lilly putih yang telah Junkyu tata di vas meja makan, dan Junkyu di hadapannya...

...yang meskipun terlihat sedikit berbeda dari biasanya, tawanya seperti mengambang—antara hadir atau tidak. Dan Haruto harus jujur, akhir-akhir ini Junkyu sedikit lebih banyak diam daripada biasanya. Mereka tertawa, saling menatap—namun lihatlah, mata cokelat itu terburu alihkan perhatiannya pada semangkuk sup mandu di hadapan mereka.

"Selain di bakery, kau tidak cerita apapun." Ujar Haruto pelan, Junkyu mengangkat bahunya kecil.

"Tidak ada yang penting, sih."

Memang tidak ada yang penting, Haruto tidak masalah dengan jawaban itu—ia hanya mengulum bibirnya, mengangguk mencoba mengerti.

***

Hari-hari berlalu, terlalu biasa—sungguh, dan justru hal itu seperti sebuah terror. Mengintai dalam diam, memangsa ketika lengah. Dan baik Haruto dan Junkyu, mungkin mulai bertanya-tanya—sebenarnya apa yang akan datang kepada mereka? Apakah itu hal baik atau tidak?

Mereka masih memagut mesra, masih berikan sentuhan penuh afeksi—meski terasa dingin, terasa hambar dan...sedikit menakutkan. Haruto yang telah dalam balutan pakaian santainya tatap Junkyu yang sibuk di dapur, memunggunginya. Dan entah ide darimana, Haruto nyalakan gramofon, putar piringan hitam yang sudah lama diangkutnya dari kediaman Crescent.

Kim Junkyu selesaikan membasuh piring terakhir ketika sepasang lengan itu peluk pinggang rampingnya dari belakang, seperti biasa, hal ini tidak ada ubahnya dengan hari-hari lain. Junkyu keringkan tangannya, berkata dengan nada peringatan.

"Haruto, aku masih—"

"Malam ini, aku ingin memelukmu lebih lama." Ujar Sang Alpha pelan, tenggelamkan wajahnya di bahu Junkyu. Tangan yang lembut itu mengusap pipi tirus milik Haruto—pejamkan matanya, Sang Watanabe raih tangannya kemudian cium lembut disana.

"Aku mohon, malam ini—aku sangat merindukanmu." Putus asa, Watanabe Haruto yang angkuh itu—memohon padanya. Junkyu putar badannya hingga berhadapan dengan tubuh tinggi sang Alpha, hanya untuk melihat bagaimana pria itu seolah bertekuk lutut hanya untuk meminta.

• Manille • HarukyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang