.
.
.
.
Semi perlahan memudar di lukisan hiruk-pikuk Seoul.
Sore hari itu, matahari memantul dari jendela apartemen yang terbuka sedikit. Tirai bergoyang pelan tertiup AC, menyebarkan perpaduan aroma teh dan debu buku dari meja baca. Dua feromon masih tersisa dari masing-masing empunya, aroma hangat dengan sedikit sentuhan mint—ah, dan jangan lupakan aroma mawar mekar dengan perpaduan aroma buah yang segar.
Sang pemilik feromon mawar membuka mata lebih dahulu, bias cahaya membangunkannya namun ia tidak bergerak. Di sampingnya, sang Alpha masih tertidur, lengan menggantung santai di pinggang Kim Junkyu—seperti telah menjadi kebiasaan.
Entah itu baik atau buruk...
Posisi mereka menyatu, hangat. Tapi di dalam dada Junkyu—ada kosong yang terus bertumbuh. Ia menatap wajah Haruto lama sekali. Bibir tebal yang sedikit terbuka, napasnya lambat dan tenang. Ingin sekali, Junkyu ingin sekali menyentuh pipinya, memagutnya mesra, ucapkan aku mencintaimu. Tapi kalau ia melakukannya sekarang...Itu akan terdengar seperti sebuah permintaan maaf
Mengesampingkan segalanya, Junkyu menarik diri perlahan, bangkit dari tempat tidur—mengenakan sweater yang Haruto gantung di kursi. Kaki nya terasa dingin menyentuh lantai. Terakhir, ia menatap Haruto kembali yang masih pulas, tersenyum tipis kemudian menuju dapur dengan langkah pelan.
Dua cangkir kopi. Seperti biasa. Junkyu tidak terlalu senang kopi, oleh karenanya ia tambahkan beberapa sendok krimmer di kopi miliknya dan membiarkan milik Haruto tetap sehitam oli. Junkyu tak bisa tahan senyum kecilnya,
"Kopimu seperti oli, astaga!"
Junkyu tahu... ia tahu—semua yang biasa ini tidak akan bertahan lama. Ia ingin menunda segalanya, namun waktu ternyata tak mengenal kata menunggu.
***
Haruto bangun satu jam kemudian. Rambut lebatnya mencuat dan kusut, matanya bengkak sedikit karena terlalu lama tertidur di siang hari setelah kegiatan mereka. Sang Alpha masuki dapur, menguap.
"Malam," sapanya. Bubuhkan kecupan di pipi gembil sang omega.
Junkyu yang berkutat di dapur hanya mengangguk. Haruto mengambil kopi miliknya yang hampir dingin diatas kitchen bar, mencicipi. "Tidak terlalu pahit, kau mulai bisa buat yang sesuai seleraku, eoh?"
Candanya, "Sudah dari kemarin-kemarin," jawab Junkyu pelan, ia pindahkan pasta yang masih mengepul untuk makan malam ke dua piring kosong. Kim Junkyu tarik kopi dari tangan Haruto, letakkan diatas kitchen bar.
"Sudah, kau besok masuk pagi, Tuan Watanabe. Nanti kau terlambat," Haruto hanya tersenyum, dengan tatapan memuja mata tajamnya ikuti siluet ramping Junkyu yang letakkan dua piring pasta di atas meja makan. Semuanya nampak biasa saja, hanya saja Junkyu terlihat lebih banyak diam ketika Haruto sibuk mengoceh—baterai energi-nya terisi penuh.
Seperti biasa, sungguh. Setelah mereka berdua membereskan meja makan dan dapur, keduanya duduk di depan National Geographic yang tak benar-benar mereka tonton. Lebih banyak mengobrol, namun lebih tepatnya Watanabe Haruto yang mendominasi obrolan mereka sembari mengupas kuaci. Dulu kadang mereka akan terjaga hingga tengah malam—entah apa saja yang dibahas, kemudian jatuh tertidur di atas sofa hingga pagi menyambut.
Watanabe Haruto tidak akan pernah menyangka bahwa sesuatu akan berubah begitu cepat.
Kim Junkyu-pun tidak pernah menyangka bahwa sebuah pagutan mesra yang membakar, akan ikut membakar benang merah yang terjalin diantara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
• Manille • Harukyu
FanfictionManille;membelenggu Hanya sebuah kisah tentang Watanabe Haruto,putra klan Crescent,dengan ambisinya dan Kim Junkyu,sang mawar dari klan Aaralyn,dengan segala garis nasib yang membelenggunya.Tentang sang Alpha dan sang Omega,tentang cinta,takdir,rasa...
