.
.
.
Langit mulai gelap perlahan—pria alpha itu menatap laut barat yang memantulkan sinar matahari tenggelam, pemandangan luar biasa cantik di tempat segala duka dan asa bergabung. Pemandangan ini selalu menjadi salah satu harapan Watanabe Haruto, sang pria alpha—dapat saksikan dengan seseorang ketika ia sudah mulai berdamai akan semua luka.
Tetapi ia sendiri tak yakin kapan luka itu akan mereda.
Ia menatap pigura dengan foto seorang perempuan cantik dibalik penyimpanan kaca di rumah duka, Haruto membungkuk dalam-dalam, berikan penghormatan—kemudian mengulas sebuah senyum tipis.
"Aku akan menjaga diriku baik-baik, karena itu—berbahagialah dengan tenang."
Langkah kaki jenjangnya menuruni anak tangga, perlahan meninggalkan rumah duka itu dengan dada lebih ringan, setidaknya untuk hari ini ia berharap akan hal-hal baik terjadi. Hingga ponsel haruto berdering, itu Mark Lee sang sekretaris
"Ya, hyung? Ada apa?"
"Aku menemukannya." Haruto terdiam sejenak di depan mobil SUV nya, isi kepalanya berputar dengan cepat.
"Temui aku di apartemen nanti malam, setelah ini aku ada janji makan malam dengan Mum dan Junkyu," ucap Haruto final sebelum mematikan sambungan dan melompat masuk di balik kemudi mobil. Untuk terakhir kali Haruto menatap sekeliling, sebelum menjalankan mobil hitamnya.
Malam ini ia sudah memiliki janji makan malam di sebuah restoran milik kawan sang Ibu. Setelah berbagai kekacauan yang terjadi, Haruto rasa ia harus membawa Junkyu keluar apartemen untuk menghirup udara—yah, sekedar makan malam bersama di restoran bukan sesuatu yang buruk,'kan?
Haruto menghubungkan ponselnya dengan tape mobil begitu melihat nama Junkyu masuk di ponselnya. Junkyu menelponnya,
"Urusanmu sudah selesai?" adalah kalimat yang pertama kali muncul dari Kim Junkyu,
Haruto terkekeh ringan, "Kau sangat merindukanku, huh?"
"Tidak, ini aku menelponmu karena Mummy yang menyuruh. Kata Mum, kau sulit sekali dihubungi." Jawab Junkyu sewot, Haruto tertawa membayangkan bagaimana wajah Junkyu saat ini.
"Iya iya, aku sedang dalam perjalanan menuju kota. Awas saja kalau kau atau Mummy terlalu lama bersiap-siap,"
Terdengar Junkyu mendengus kesal,entah kenapa."Kau sebenarnya kemana?kenapa aku tidak kau ajak?"
"Rahasia."
"Oke-oke baiklah, bilang saja kau baru mengunjungi selirmu yang lain, benar 'kan?!"
Masih dengan fokus pada jalanan di depan yang sepi dan gelap, Haruto tersenyum lebar mendengar Kim Junkyu bersungut-sungut—ah, katakan ia gila karena menganggap Junkyu ketika marah itu salah satu yang paling menyenangkan untuk dilakukan. Sang pria Alpha melirik dua buah buket bunga lily putih di kursi belakang, sekalipun ia membuat Junkyu marah, ia tahu omega itu juga cepat luluh dengan segala hal manis.
"Nanti, nanti kau juga akan tahu sendiri."
"Kubilang juga apa—aih, sudahlah!Aku tutup telponnya—"
"Jangan tutup telponnya, temani aku dulu."
Entah kenapa, ada perasaan tidak nyaman mampir dalam diri Haruto. Ia tetap mengemudi dengan tenang, sambil mendengarkan Junkyu berceloteh—tidak memperdulikan perasaan tidak nyamannya.
"Kenapa? Nanti juga kita bertemu di restoran..."
"Entahlah, hanya saja—"
Senyum Haruto memudar, bertepatan dengan sebuah cahaya lampu depan menyorot tajam dari samping kanan—bagaikan dalam adegan laga, dari kegelapan muncul sebuah mobil tronton,bergerak terlalu dekat,terlalu cepat. Suara detak jantung berpacu cepat, hampir mengalahkan suara mesin tronton yang meraung. Melaju tanpa ragu—menghantam mobil SUV hitam yang tanpa sempat banting setir.
"Halo?Haruto?"
Dalam sepersekian detik, mobil itu terlempar dari jalan—berputar tanpa koordinat, menghantam pohon besar. Watanabe Haruto tersentak oleh suara dentuman keras, dan pecahan kaca yang beterbangan. Segala menjadi hening, sambungan dengan telepon Junkyu terputus-putus. Airbag terbuka, menutupi tubuhnya yang terhimpit kursi pengemudi.
"J-junkyu—"
Lemah,berbisik. Merah dimana-mana, Haruto rasakan merah tutupi pandangannya, tubuh itu perlahan kehilangan responnya terhadap sakit yang teramat. Dengan kesadaran yang semakin tipis, tangannya berusaha menggapai ponsel yang hanya sejangkauan darinya.
"Halo?Haruto—kau dengar aku??!"
Suara Junkyu terdengar sangat jauh, penuh dengan kepanikan dan histeria.
"Haruto!WATANABE HARUTO!!!"
Di tengah rasa sakitnya ingatan tentang Junkyu, tentang hidupnya menyeruak. Senyum Junkyu yang cerah, suara dan sentuhan lembut sang Ibu, pelukan ayahnya di hari ia menikahi Junkyu—segalanya, terlintas dalam beberapa sekon.
'Tidak, aku tidak bisa mati dengan cara ini'
Haruto menggertakkan giginya, berusaha melawan gelap yang makin dekat melahapnya.
"Haruto!Siapapun tolong dia—SIAPAPUN DISANA TOLONG DIA KUMOHON!"
Dan gelap perlahan telan Haruto.
***
Semuanya terasa seperti mimpi buruk.
"Haruto!Siapapun tolong dia—SIAPAPUN DISANA TOLONG DIA KUMOHON!"
Tidak ada respon apapun dari seberang, dan Junkyu tidak dapat rasakan kedua kakinya menapak bumi. Hong Jisoo telah menangis histeris, undang Kazuha yang berlari memeluk sang Ibu. Mansion Crescent malam itu penuh oleh tangis dan kekhawatiran, resah yang menjadi satu di udara—Junkyu tetap berdiri, semua orang perlahan mengabur di mata cantiknya.
Watanabe Satou sibuk menghubungi Mark Lee, mencari tahu koordinat terakhir putranya. Telepon rumah berdering bersautan dengan panggilan pribadi, Junkyu tahan tangisnya sekuat tenaga. Ia harus kuat, jika ia menangis—tidak, Haruto pernah mengatakan kalau ia benci Junkyu menangis sendiri tanpanya. Tidak, ia harus kuat—Haruto tak akan suka melihatnya seperti ini.
Suara raungan sirine ambulan memecah langit Seoul malam itu. Kim Junkyu sampai di rumah sakit dengan sisa kekuatan yang ia punya, tergesa menyusuri unit gawat darurat—mencari keberadaan sang alpha, akan tetapi sosok Mark Lee yang malah ia temukan.
"Mark-ssi, Haruto—"
"Beri jalan! Beri jalan!"
Dan memang, mimpi buruk itu nyata.
Kim Junkyu menyaksikan bagaimana sosok yang tergolek bermandikan darah diatas ranjang dorong itu, adalah sosok yang ia kenal—dikelilingi paramedis, dengan sebuah alat bantu napas, membelah keramaian unit gawat darurat. Semua seakan bergerak begitu lambat di mata Junkyu.
Telinganya berdenging, Junkyu tak tahu, atau bahkan peduli bahwa wajah ayunya yang pucat telah dihiasi air mata. Tubuhnya oleng dan tepat Mark Lee tahan sebelum ia jatuh terduduk. Junkyu susah payah kendalikan isakannya, dadanya terasa penuh oleh sesuatu yang menghimpit hingga tenggorokan, buat ia terbata-bata sebut nama itu. Haruto berjanji akan datang, berjanji akan menemuinya dan ibunya.
"Haru—Haruto..."
Harusnya tidak begini...tidak, harusnya tidak begini.
"Junkyu-ssi—"
Tangisnya pecah, ia menggeleng pelan—menolak kenyataan bahwa Watanabe Haruto ingkari janji. Dan malah datang padanya dengan nyawa diujung tanduk.
"Selamatkan dia, kumohon. Siapapun itu—aku mohon, selamatkan Haruto...selamatkan suamiku,"
KAMU SEDANG MEMBACA
• Manille • Harukyu
Fiksi PenggemarManille;membelenggu Hanya sebuah kisah tentang Watanabe Haruto,putra klan Crescent,dengan ambisinya dan Kim Junkyu,sang mawar dari klan Aaralyn,dengan segala garis nasib yang membelenggunya.Tentang sang Alpha dan sang Omega,tentang cinta,takdir,rasa...
