Saatnya merasa kehilangan

1.1K 72 26
                                    

"Kau membunuhnya," ucap seseorang.

Anna menoleh ke belakang dan mendapatkan Nico sedang berdiri di dekat pagar pembatas, memperhatikan Anna dengan wajah datar. Jantung Anna kembali berpacu.

"Aku serius Anna, dia anak buah Isaac." Anna teringat ucapan Richard saat dia sedang berada di kamarnya. Nico adalah anak buah Isaac, dan Anna tidak boleh terpancing dengan omongan apa pun yang diucapkan anak itu.

Nico mulai menghampirinya.

Anna, yang masih dengan emosi dan ketakutannya terus memperhatikan Nico berjalan ke arahnya. Dada Anna naik turun karena nafasnya. Pandangannya kosong, walau sebenarnya banyak pikiran-pikiran tak penting berputar di kepalanya.

"Kau darimana saja? Isaac sudah bertindak jauh," ucap Nico setelah tepat berada di depan Anna. "Ayo! Aku akan membawamu ke pondok," lanjutnya sambil memegang lengan Anna dan mulai menariknya pelan.

"Tunggu sebentar!" cegah Anna. "Isaac sudah mati," katanya.

Nico menggelengkan kepalanya. "Yang kau temui di gudang bukanlah Isaac. Itu Ramon, iblis peniru. Dia pun bila dibakar, kekuatannya justru bertambah. Ayo, Anna! Waktu kita tidaklah banyak. Akan ada lebih banyak iblis yang sedang munuju ke sini," kata Nico sambil celingak-celinguk cemas.

"Annabelle!" panggil seseorang di belakangnya. Anna berbalik dan melihat Samuel baru saja keluar dari rumah Lucas. Dan ketika melihat keadaan luar -melihat keadaan Anna- dia langsung menggerakkan tubuhnya, berlari mengahampiri Anna. "Ada apa denganmu? Kenapa kau berdarah seperti ini? Ya ampun kau terlihat sangat kacau," kata Samuel sambil menangkup wajah Anna dengan kedua telapak tangannya. Dia menggerakkan kepala Anna ke kanan dan ke kiri. Memperhatikan setiap lebam yang Anna miliki dengan mimik paling mencurahkan kekhawatiran yang pernah Samuel perlihatkan. Berbeda dengan Nico yang datang begitu saja dan tahu-tahu ingin mengajaknya pergi. Sungguh perbedaan yang drastis. "Dan.. Oh Tuhan!" ucapnya saat melihat wanita yang tergeletak di belakang Anna dengan dada tertusuk. "Anna, kau harus menjelaskan padaku, semuanya."

Anna memegang tangan Samuel yang berada di pipinya, lalu mulai menangis. "Aku membunuhnya, Sam. Aku membunuhnya," ucapnya sambil menutup kedua matanya, membiarkan air mata yang selama ini hendak keluar dari tempatnya mengaliri wajahnya. Pundaknya bergetar, dia sesenggukan, dan menurut Anna, dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri setelah ini.

Anna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air mata yang semakin banyak membanjiri wajahnya. Perlahan, kepala itu tertunduk maju dan jatuh di atas pundak Samuel. "Shhh, sudah sudah," kata Samuel yang langsung mendekap Anna seerat yang ia bisa. Memberikan kehangatan -kenyamanan yang sesugguhnya. "Aku tahu kau tidak bermaksud melakukan itu. Pasti ada sebuah alasan," lanjut Samuel.

Nico memutar matanya kesal. "Anna," panggil Nico.

Anna tidak bergeming, dia tetap berada dalam posisinya. Anna pikir, inilah satu-satunya tempat yang menurutnya paling nyaman walaupun dengan hawa perang seperti ini.

"Anna," panggil Nico lagi. Kali ini Samuel menanggapinya.

"Bisakah kau menutup mulutmu?!" ucap Samuel dengan wajah penuh kekesalan.

"Aku hanya ingin memberitahu, bung, kalau di-"

BOOM!!!

Tiba-tiba saja api besar menyembul keluar dari atap rumah Lucas. Apinya cepat menjalar hingga ke rumah di sebelahnya. Asapnya tebal mengebul menutupi pemandangan Anna dan yang lainnya. Lalu Samuel tersadar akan satu hal. "Lucas! Dia masih di dalam, juga perempuan itu."

Belum selesai Samuel menyelesaikan perkataannya, Nico sudah berlari kencang menuju rumah yang membara itu. Saking terburu-burunya dia, dia hampir terjatuh- tersandung oleh batu di bawahnya. Tapi dia bisa mencapai rumah Lucas lebih cepat dari yang dibayangkan semua orang. Dan Nico menghilang dalam rumah yang berapi itu.

The First ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang