Di dalam sebuah ruang keluarga, Anna sedang bertatap wajah dengan laki-laki tinggi dengan tato di lengan atasnya. Tato mawar berwarna merah dengan tangkai yang bengkok. Wajah laki-laki itu gelap. Mungkin karena penerangan di ruang itu sedikit gelap.
"Kau mau mati?" tanya laki-laki itu dengan suara beratnya sambil tersenyum. Anna menggeleng kencang. "Kenapa?"
"Aku, tidak mau," jawab Anna gugup karena takut dengan siapa yang berbicara di depannya ini.
"Tapi satu orang harus mati di sini," katanya sambil mengangkat wajahnya kelangit-langit atap rumah itu.
"Itu tidak perlu," kata Anna yang matanya mulai berair. "Tidak ada yang harus mati di sini,"
"Itu tidak mungkin," kata laki-laki itu dingin. "Harus ada yang mati." Anna menggeleng lagi. "Oh! Kau menginginkan banyak ya?" tanya laki-laki itu lagi dengan sedikit tawa disela-selanya.
"Tidak!" teriak Anna.
"Oke! Akan kucicil satu persatu," kata laki-laki itu.
"Maaf Tuan, aku tidak bermaksud lancang padamu, tapi aku memohon padamu. Tidak harus ada yang mati disini," kata Anna memohon.
"Bagaimana kalau salah satu temanmu?" tanya laki-laki itu lagi yang semakin membuat bulu kuduk Anna berdiri. Anna menggeleng cepat. "Si Tampan? Si Bodoh? Si Cantik? Si Kecil? Atau, maumu siapa?"
"Aku, tidak, mau," jawab Anna yang gemetar karena firasatnya yang buruk. Dia mulai merasa tidak nyaman berhadap-hadapan dengan pria aneh ini.
"Oh, siap tuan putri sayang. Sesuai permintaanmu, adik kecilmu itu akan ku antar ke hadapanmu sekarang," katanya seolah-olah menganggap Anna tuli. "Sebagai mayat!" bentaknya.
****
"Tidak kumohon!" kata Anna yang membuat mata Samuel terbuka kaget.
"Anna!" bisik Samuel tepat di depan telinga Anna. "Bangunlah! Ada apa?" lanjutnya lagi.
Perlahan, Anna mulai membuka kelopak matanya dengan anggun. Tangannya melingkar ke sesuatu yang panjang. Saat Anna melirik tangannya, dia melihat tangannya melilit lengan Samuel dengan cengkramannya. Lalu dia tersadar. Kepalanya baru saja bangkit dari tempatnya, pundak Samuel. Dia berharap semoga air liurnya tidak menetes malam ini.
"Ada apa?" tanya Samuel lagi.
"Laura! Dimana Laura?" tanya Anna balik dengan cemas.
Mata Anna hanya terpaku pada mata Samuel. Dan detakan organ tubuh Samuel terasa sesak di dadanya. Ada yang aneh dari diri Anna saat ini. Sikapnya berubah lebih pendiam dan kadang-kadang, ada rasa panik yang menghampiri Anna. Semenjak pertemuan Anna dengan buku penyihir itu.
"Itu, disamping Robert. Dia tertidur," kata Samuel sambil menunjuk Robert di sebelah Anna dengan dagunya. "Memangnya kenapa?"
Anna ragu ingin menjawab pertanyaan Samuel. Mungkin mimpi barusan hanya sebuah mimpi. Bukan sebuah pertanda. Jika ia memberitahu Samuel kalau dia bermimpi tentang seorang laki-laki aneh yang ingin membunuh Laura, Samuel pasti akan mengira kalau dia terlalu banyak mengkhayal. Dan saat itu juga, Anna merasa malu pada dirinya sendiri.
"Tidak. Tidak apa-apa," jawab Anna sambil menggeleng.
Lalu dia melihat Robert dan Laura. Kini Robert baru saja terbangun. Lalu dia menengok ke arah Anna dan tersenyum. Begitu juga ke arah Samuel. Lalu dia bertanya, "Jam berapa sekarang?"
Samuel melirik dinding-dinding yang berdiri di sekelilingnya. Tapi tidak menampakkan sebuah benda bergerak penunjuk waktu. Lalu Samuel mengangkat bahunya sambil berkata, "Tidak tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The First Chance
AdventureAnnabelle, remaja berumur empat belas tahun ini, telah menemukan buku seorang penyihir. Buku itu seakan-akan berbicara dengan Anna. Anna pun tidak tahu mengapa dia menjadi yang terpilih. Tapi entah kenapa, Anna sangat tergila-gila pada kisah yang su...