Sebuah kesalahan

6.8K 235 1
                                    

Di dalam sebuah ruang ganti untuk para pemain basket, dua remaja duduk bertekuk lutut di sudut ruangan itu, tepatnya di samping loker abu-abu yang memanjang, wanita dan laki-laki. Mereka saling bersandar dan memegang buku masing-masing. Si wanita memegang sebuah novel dan si lelaki memegang sebuah komik.

"Kau bisa mengatakan apa pun yang kau inginkan kepada seseorang yang kau kira tidak akan pernah kau lihat lagi," kata wanita itu mengutip novel The Mortal Instruments, jilid ke tiga, yang sedang ia baca.

Di sampingnya, lelaki yang kelihatan lebih tua menatapnya tidak senang. "Jadi, kau yakin setelah lulus nanti, kau akan mengatakan sesuatu padanya?" tanya lelaki itu. Lelaki itu berwajah dingin, tinggi, dan memiliki mata dan rambut hitam yang terlihat serasi. Dia sedang memakai seragam basketnya yang berwarna kuning dan ungu, seperti tim basket Lakers, dengan nomor punggung dua puluh tiga. "Aku tidak yakin dia akan menanggapinya. Aku lebih yakin, dia akan mengabaikanmu."

Wanita itu terlihat tidak menyukai perkataan si laki-laki, lalu dia memandang lelaki itu dari samping. Lelaki itu menghiraukan tatapannya, dia lebih tertarik dengan komik Salad Days yang sedang ia baca.

"Kau mencoba untuk mencegahku?" kata wanita itu. Laki-laki itu pun langsung menengok untuk melihat wajah si wanita. "Seribu kali pun kau mencoba untuk mencegahku, kau tidak akan berhasil," katanya lalu mulai berpaling untuk membaca novelnya kembali.

"Anna, kau tidak mengenal dia. Aku yang mengenal dia. Kau tidak tahu seberapa buruknya dia. Aku yang tahu. Kau pun tidak tahu sudah berapa wanita yang ia sakiti. Aku yang,"

"Kalau kau tahu segalanya tentang dia, beri tahu aku segalanya tentang dia. Kalau tidak, kau bisa menggantikanku untuk mengatakan itu," kata wanita yang dipanggil Anna itu, dengan nada yang cukup meledek.

"Jangan menilai dari penampilan. Seperti duri pada mawar yang indah, kau tidak tahu apa yang ada dalam pikiran orang, orang yang terlihat baik hati," kata lelaki itu dengan gaya mengutip. "Aku ingat kata-kata itu di dalam komik Detective Conan. Ya, aku rasa itu membuatmu berubah, setidaknya."

"Ya, terima kasih telah mencoba untuk membuatku berubah, Samuel. Tapi itu tidak berhasil. Sudahlah, jangan membahas itu lagi. Aku juga belum memutuskan hal itu. Aku masih bingung, Sam." Wajah Anna pun berubah. Terlihat lebih tersiksa daripada biasanya. Rambut hitam pekat yang terurai di seragam putih sekolahnya, sangat terlihat mencolok. Seperti ada semut yang hitam di selembar kertas yang sangat putih. Wajah tanpa make up terlihat seperti memakai hiasan yang sangat sederhana. Bulu mata yang lentik, bola matanya yang coklat, serta bibir yang menawan.

"Mau dengar sesuatu yang menarik? Aku yakin kau pasti akan menyukainya," kata Samuel mencoba menghibur. Dia menutup komiknya, menegakkan duduknya lalu menyilangkan kakinya.

Dia terlihat sangat manis dengan senyuman yang sedang menggantung di wajahnya. Senyuman yang menggoda, pikir Anna. "Apa? Tolong jangan katakan bahwa ada teman wanitamu yang juga menyukai Lucas. Tolong jangan,"

"Diamlah, Annabelle. Ini serius. Aku menemukan sesuatu yang menakjubkan. Sebuah,"

"Hey," kata seorang lelaki berkulit putih dengan kumis tipis yang menempel di atas bibirnya. Dia menundukkan kepalanya agar bisa melihat Annabelle dan Samuel yang sedang duduk di lantai. Lelaki itu memakai seragam yang sama dengan Samuel, tapi bernomor punggung dua puluh satu. Kakinya hanya memakai sepasang kaus kaki yang panjangnya tidak sampai menyentuh mata kaki. Wajah dua sahabat itu terlihat sangat terganggu, "Oh maaf, aku kira aku mendengar namaku disebut tadi," kata lelaki itu.

Mereka berdua sempat terdiam untuk beberapa detik. Lalu akhirnya, Samuel berbicara, "Ah, ya, sepertinya kau salah dengar tadi, Lucas."

"Oh, oke," kata Lucas sambil berjalan ke luar ruangan lalu meninggalkan mereka berdua.

Samuel menghela nafas lega. "Kau ini bodoh atau apa sih? Ini tempat umum bukan kamarmu. Aku peringatkan sekali lagi ya, jangan coba-coba menyebut namanya, atau apa saja yang berhubungan dengannya ditempat seperti ini. Paham maksudku?" tanya Samuel dengan nada yang cukup tinggi.

"Ya," jawab Anna malas. "Tapi kenapa kau seperduli ini padaku? Seharusnya aku yang menjadi stres seperti dirimu tadi, bukan kau," lanjut Anna dengan tatapan heran yang tertuju pada mata Samuel.

Samuel tidak segan-segan menatap wanita itu balik. Entah dia sedang gugup atau memang tidak mau menjawabnya. Dua sahabat yang saling mengerti kini telah berubah hanya karena masalah percintaan. Dan pintu ruang ganti terbuka. Samuel langsung menatap lelaki di balik pintu itu. Memeriksanya dari ujung rambutnya sampai ujung sepatu New Balance yang berwarna abu-abu dan hitam.

"Samuel, pertandingan dimulai sepuluh menit lagi. Sebaiknya kau bersiap-siap. Bukannya memojok seperti ini, seperti tikus pengecut," kata Lucas dengan santainya.

Annabelle bangkit dari kenyamanan duduknya. Kaget, dengan perkataan Lucas, orang yang sangat ia bangga-banggakan. Lucas baru saja berkata bahwa sahabatnya adalah tikus pengecut. Annabelle sangat tidak menerima kata-kata itu. Dan saat itu juga, Annabelle tahu siapa Lucas sebenarnya. "Kau yang pengecut bodoh!" teriak Annabelle dengan kencangnya. Aku yakin, pikir Annabelle, dia pasti mendengarnya.

Tapi tidak ada yang muncul di balik pintu itu setelah ia menunggu untuk waktu yang cukup lama. Lalu dia memandang Samuel. Annabelle pikir, sahabatnya itu akan memarahinya karena baru saja membentak kapten basket tim sekolahnya. Tapi Samuel justru tersenyum dengan indahnya. Lengkukan di pipinya ternyata yang membuatnya sangat manis, pikir Annabelle. "Kenapa kau tersenyum seperti itu padaku?"

Senyuman Samuel berubah menjadi tawa yang sangat menggelikan. Dia sampai memegang perutnya karena dia pikir itu sangat lucu. Lalu dia bertepuk tangan. "Oh ya ampun Annabelle, aku tidak percaya ini. Annabelle-ku yang dulu telah kembali. Terima kasih ya Tuhan," kata Samuel sambil membuka lokernya di rak terbawah. Dia mengambil sepatu Nike nya yang berwarna biru dan putih. Dia juga mengambil handuk kecilnya yang berwarna biru awan.

Annabelle juga ikut mengambil karet di pergelangan tangan kirinya, lalu menguncir rambutnya. "Oh sudahlah, Sam. Sebaiknya kau cepat-cepat menangkan pertandingan ini. Agar aku bisa mentraktirmu sebuah pizza isi keju," kata Annabelle sambil berdiri tegak dan menunduk menatap Samuel yang sedang memakai sepatunya. "Walaupun, aku tidak yakin kau akan menang. Tapi aku akan mendoakanmu. SEMANGAT SAMUEL!" teriak Annabelle.

"Siap, tuan putri," kata Samuel dengan hormat sebagai prajurit.

Setelah ia selesai mengenakan sepatunya, dia keluar menuju lorong dan keluar di sebuah lapangan basket indoor. Semua penonton bersorak dengan keluarnya para pemain basket. Annabelle menaiki tangga penonton yang telah ia pesan, dan pertandingan pun dimulai.

The First ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang