Kota penyihir

3K 181 0
                                    

Keadaan sudah mulai membaik. Mau bagaimanapun juga, Samuel sudah menganggap Anna sebagai adik kandungnya sendiri. Dia rela melakukan apapun untuk Anna demi kebaikannya. Walaupun harus mati karenanya. Mati karena penyakit jantung, mungkin.

"Sam," panggil Anna yang sedang berbaring di samping Samuel. Kepala Anna berada tepat di dada Samuel. Badannya meringkuk ke arah Samuel. Anna tidur menghadap Samuel.

"Apa?" jawab Samuel yang hampir tertidur lalu menatap Anna dari posisinya.

"Saat kita berumur tujuh tahun, kita pernah tidur bersama, dan kau biasa-biasa saja. Tapi sekarang," kata Anna yang mulai membalas tatapan Samuel. "Jantungmu kenapa?"

Samuel berhenti menatap Anna. Dia mengalihkan pandangannya ke arah meja belajar yang tepat di depan matanya. Lalu dia menjawab, "Itu saat aku berumur delapan tahun. Sekarang aku berumur enam belas tahun, Anna. Aku hampir dewasa."

"Hey, aku biasa-biasa saja. Ya, walaupun sedikit berbeda sih keadaannya. Tapi kita sudah saling mengenal saat kita menginjak sekolah dasar. Kita seperti kakak, dan adik." kata Anna. Dia memainkan baju basket yang masih dipakai Samuel. Mencubit-cubit baju itu. Tapi Samuel tidak peduli dengan apa yang dilakukan Anna.

"Aku pun begitu," kata Samuel yang mulai mengantuk. "Oh ya, kau berjanji kau akan tidur bila aku temani. Sekarang, kau harus tidur."

"Aku tidak bisa tidur, Sam. Suara itu masih mendengung di pikiranku," kata Anna yang masih memainkan baju Samuel.

"Memang suara apa sih?" tanya Samuel penasaran.

"Seorang perempuan. Dia berbicara padaku. Katanya, aku penyihir dan, dia menyuruhku untuk membebaskannya." Wajah Anna terlihat ketakutan lagi.

"Itu hanya,"

"Bukan. Itu bukan khayalanku," kata Anna dengan nada yang cukup tinggi.
Setelah itu hening. Mereka saling tatap menatap dan tidak bergerak. "Aku serius. Ada seseorang. Dalam buku itu. Di penjara dan," kata Anna yang terlihat serius. Samuel hanya bisa mengamati Anna. "Dia, dia ibuku."

Samuel hanya terdiam kaku walaupun dia amat kaget. Samuel pikir, Anna pasti menderita masalah kejiwaan. Jelas-jelas ibunya Anna ada di rumah Anna. Di sebelah rumah Sam. Tapi tidak, tidak, tidak. Anna tidak boleh seperti itu. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?"

"Kita harus pergi menyelamatkan dia, Sam," kata Anna yang mulai bangkit untuk duduk. Kakinya bergantung di tepi kasur. Anna mulai merapihkan rambutnya, menyisirnya dengan tangan.

"Kau, kau gila," kata Samuel yang bangkit mengikuti Anna. "Pertama, penyihir itu tidak ada. Kedua, ibumu, ada di rumahmu. Dan yang ketiga, jika ibu yang kau maksud penyihir itu ada, jika ada, dan kau bilang dia dipenjara, bagaimana cara membebaskannya? Hah?"

Anna terdiam. Kepalanya tertunduk. Dia pikir, Samuel ada benarnya juga. Bagaimana cara membebaskan wanita itu? Anna tidak tahu di mana dia dan siapa dia. Tapi di kepalanya terlintas satu hal. Buku Samuel.

"Buku itu," kata Anna. Matanya tertuju pada buku yang ada di meja belajar di depan Anna. Anna bangkit mengambilnya dan duduk kembali. Lalu berkata pada Samuel tanpa meliriknya, "Pinjam pensil."

"Untuk apa,"

"Cepatlah Sam," kata Anna dengan nada tinggi.

Samuel langsung mengambil tas yang berada di kolong meja belajarnya itu. Lalu dia mengorek tas itu sampai mendapatkan sebuah pensil dan menyerahkannya ke Anna.
Tanpa di beri perintah, Anna langsung merebut pensil itu dan menulis sesuatu di buku Samuel. Dia menulis, "Kau siapa?"

Mata Samuel tertuju pada buku itu, lalu saling bertatap dengan Anna. Lalu kembali tertuju pada buku itu. Dan, tulisan itu menghilang. Samuel hanya bisa terdiam menatap buku yang kosong itu. Dia mengedipkan matanya berulang kali. Tulisan itu benar-benar hilang.

Tidak lama setelah itu, muncul tulisan lagi, seperti ada yang membalasnya. "Kenalkan, namaku Alika. Alika Hazelbrown."

Samuel tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sekarang, dia pikir dirinya juga mulai gila.

Sedangkan Anna, membacanya dengan perlahan. Karena tulisan itu benar-benar rapih dan, kacau. Lalu Anna membalas, "Apa yang kau mau dari ku? Dari kami?"

"Aku tidak meminta apa-apa. Aku hanya memberitahumu dan Samuel bahwa kalian berdua sudah siap menjadi penyihir." kata perempuan yang bernama Alika itu lewat tulisannya.

"Tunggu, tunggu! Dia, mengetahui namaku?" teriak Samuel tidak percaya.

Dan sedetik kemudian sebuah suara menjawabnya. "Ya, tentu saja. Aku juga mengenal ayahmu. Richard."

Samuel dan Anna bertukar pandang. Lalu Samuel celingukan mencari-cari dari mana suara itu berasal. "Wow-wow-wow. Tunggu sebentar!" kata Samuel yang mulai bangkit dari posisi duduknya. "Ayahku bukanlah Richard. Dia,"

"Cukup," bentak Alika yang hanya busa didengar oleh Anna dan Samuel. "Sekarang, tutup mata kalian," katanya memerintahkan. "Saat aku bilang buka, buka mata kalian."

Samuel dan Anna seperti terhipnotis. Mereka langsung menutup mata mereka dan berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah bermenit-menit lamanya, Alika berkata lagi, "Sekarang, buka mata kalian."

Saat mereka membuka mata, mereka melihat sebuah pemandangan yang luar biasa indahnya. Sepertinya, mereka sedang berada di sebuah bukit. Di sekeliling mereka rumput hijau membentang seluas-luasnya. Di bawah mereka, perumahan kuno yang terlihat seperti desa yang besar. Bukan kota, tapi desa. Masing-masing rumah itu bertingkat dua, dibuat dari kayu yang coklat, dan sangat sederhana tapi sangat indah juga.

Saat Anna dan Sam melihat ke belakang, mereka melihat seorang perempuan yang cantik. Dia memakai daster berwarna putih. Rambutnya hitam dan ikal. Dia seperti hantu yang cantik. Lalu dia berkata, "Aku Alika." Dia mulai berjalan melalui Anna dan Sam. Sekarang dia tepat di tepi tebing itu.

"Anna, Samuel, inilah kota penyihir," kata Alika memperhatikan desa yang disebut kota penyihir itu.

"Jangan khawatir," lanjut Alika. "Ini hanyalah hasil proyeksiku. Kalian tidak benar-benar di sini, masih di rumah."

The First ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang