Waktu yang terbuang

2.8K 156 0
                                    

"Tunggu sebentar Anna!" teriak Samuel di belakang Anna. "Kita tidak tahu harus kemana untuk mencari si Clarissa itu."

Anna berhenti di depan Samuel. Dia menatap aspal abu-abu tepat di depan rumah Samuel. Lalu dia berkata, "Aku tidak tahu mengapa semangatku tiba-tiba meluap seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, kita harus menemukan Clarissa," kata Anna sambil meneruskan jalannya. Bulan sudah bulat tepat di atas kepala Anna. Lalu dia menengok ke belakang untuk melihat apakah Samuel membuntutinya atau tidak.

Ternyata tidak. Dia mematung menatap Anna dari sana. Lalu tertawa kecil. "Haha, Anna, mimpi ini sungguh lucu," kata Samuel yang mulai menghampiri Anna. "Aku bisa mengontrol alam bawah sadarku sendiri. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau di sini. Ini mimpiku."

Kini Samuel sudah berdiri berhadapan dengan Anna. Samuel mulai memegang lengan tangan kiri Anna dengan tangan kanannya. Tangan kirinya membelai rambut Anna dengan lembut. Jarak mereka sangat dekat sampai-sampai Samuel bisa mencium sisa parfum cokelat milik Anna. Lalu dia berbisik, "Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau." Samuel mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Anna.

****

Anna tidak tahu apa yang terjadi sekarang. Dia hanya bisa berdiri di hadapan Samuel. Maksudku, di dalam lengan Samuel. "Samuel," katanya ikut berbisik. "Ini bukan mimpi."

Anna mulai menjaga jarak dari Samuel. Tapi Samuel mendekat kembali dan melingkarkan tangannya di pinggang Anna, lalu tersenyum.
Karena tidak tahan, Anna menampar pipi kiri Samuel dan jalan membelakangi Samuel.

Dengan wajah polos, Samuel berkata, "Tamparan itu sakit, Anna." Setelah mengelus pipinya yang kemerahan, dia mengikuti Anna yang hampir jauh di depannya.

Kepala Anna berbalik ke arah Samuel tapi tidak berhenti berjalan. "Itu, menjelaskan satu hal, Sam," kata Anna. "Kau, tidak, bermimpi!"

Sekarang, Anna dan Samuel sudah berjalan berdampingan. Dengan pipi yang kemerahan, Samuel merasa malu dengan tindakannya barusan. Dia seperti baru saja menjual kata-kata indah yang akan diucapkannya untuk Anna hanya dengan mencoba untuk berciuman. Tapi Samuel berdoa, semoga Anna tidak segera mengetahui rencana besarnya itu.

"Nah," kata Samuel setelah sekian lamanya ada kesunyian. "Sekarang, kita mau kemana Tuan Putri Anna?"

"Oh ayolah, Samuel. Bisakah kau berlagak sedikit cerdas?" kata Anna dengan nada mengejek.

Samuel hanya bisa terdiam dengan hinaan yang mungkin menyakitkan itu.

"Kita di Jakarta, Sam. Alika tidak mungkin tega membiarkan anak kecil seperti kita,"

"Aku sudah dewasa. Kau yang anak kecil," potong Samuel tanpa melirik Anna.

"Hey! Kau baru enam belas tahun, bodoh," kata Anna dengan nada yang cukup tinggi.

"Tapi," kata Samuel dengan penekanan. "Bulan depan, aku akan berulang tahun. Ingat itu, bocah," ejek Samuel sambil menjulurkan lidahnya ke arah Anna.

Anna tidak memperdulikan ejekan Samuel. Tapi dia justru mengeluarkan telepon genggam yang ia bawa. Dia membuka peta di dalam telepon genggamnya itu. "Nah, kita ada di Perumahan Kali Bata Indah," kata Anna sambik mengotak-atik handphonenya. "Yang dimaksud Alika, bukanlah negara, melainkan kota. Sedangkan pulau adalah sebuah desa. Jadi maksudnya, desa terpencil di kota yang besar."

Sambil mereka berjalan keluar komplek, mereka sempat mencuri-curi pandang. Tapi tidak lebih dari itu. Samuel tidak bisa berbuat apa-apa selain diam, mendengarkan dan mengikuti.

"Jadi menurutmu, desa mana yang di maksud Alika?" kata Anna yang mulai berhenti untuk menengok Samuel yang sedari tadi diam. "Kau boleh bicara sekarang. Kumohon untuk tidak bercanda."

Samuel mengangguk karena mengerti maksud dari perkataan Anna. "Kau meminta pendapatku kan?" tanya Samuel, dan Anna langsung mengangguk pelan. "Menurut Detektif Samuel, pernyataan yang kau simpulkan dengan cepat itu sangat tidak meyakinkan. Pertama, kau tidak punya bukti, kalau Clarissa berada di sebuah desa. Kedua, jika kau bilang, desa terpencil di kota yang besar, bisa saja bukan berada di kota Jakarta. Masih banyak kota-kota besar di Indonesia, iya kan?" tanya Samuel, dan untuk kedua kalinya, Anna mengangguk lagi. "Dan terakhir Anna, kalaupun Clarissa berada di sebuah desa yang kecil, dimanakah itu? Kau tahu?"

Anna diam melihat sahabatnya berubah seperti detektif sungguhan. Dia tidak menyangka. Samuel yang terlihat sangat pendiam dan polos ternyata memiliki keahlian sebagai detektif muda. Dia teringat akan komik Detektif Conan yang diceritakan Samuel sewaktu mereka berdua duduk dibangku SMP. Seorang anak SMU sudah terkenal se-Tokyo karena menjadi detektif. Dan sekarang, Anna sangat bangga dapat menjumpai detektif tersebut. Tampan, pintar, dan baik hati. Dia sungguh bersyukur telah memiliki Samuel.

"Menurutku, si Clarissa tidak jauh dari sini," kata Samuel yang langsung berbalik arah dan memasuki komplek lebih dalam. "Tadi kau bilang padaku, Alika tidak akan membiarkan anak kecil seperti kita berkeliaran tengah malam begini," sambung Samuel dengan penekanan dikata anak kecil.

Anna hanya bisa mengikuti Samuel di belakang. Sambil memperhatikan Samuel dari posisinya, Anna pikir, ternyata Samuel memang sudah cukup dewasa. Tubuh tegap yang tinggi disinari lampu penerang jalan itu adalah sahabat terbaiknya. Samuel masih memakai seragam basketnya. Dia belum sempat menggantinya sejak pulang dari pertandingan. Rambut hitam yang kini sedikit berantakan juga termasuk dalam diri Samuel. Entah mengapa, Anna merasa ada sesuatu yang berbeda saat Samuel hendak melakukan sesuatu padanya tadi. Membelai setiap helai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Sentuhan di lengannya seperti sengatan listrik yang membuat Anna tersengat. Tatapan paling menggoda yang pernah ia lihat sangat membuat Anna tidak membantah sama sekali. Dia sampai lupa siapa diri Anna sebenarnya. Anna tidak tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang sudah ia sayangi. Mungkin tanpa sadar, dia sudah merasakan itu.

"Nah," kata Samuel dengan wajah yang bersinar seperti bulan diatas. "Aku menemukannya. Ini, di pintunya tertulis, Clarissa Parker."

Dengan rasa yang gembira, Anna memencet-mencet bel rumah itu. Pintunya berwarna putih, gerbang besi berukuran kecil yang terlihat sudah cukup banyak karat. Rumah itu sedikit menyeramkan dengan banyaknya daun-daun kering yang bertebaran di halaman depan runah itu. Secara keseluruhan, rumah itu dicat berwarna putih, tapi karena sudah lama, warnanya terlihat agak kekuningan. Dari luar, rumah itu bertingkat satu dengan bagian atap yang membentuk seperti segitiga.

Setelah sekian lama, pintu berwarna putih itu terbuka dan munculah wanita dengan rambut merah marun yang berantakan. Dia memakai piyama daster berwarna hitam yang sepertinya sangat melekat di tubuhnya. "Apa?" tanya wanita itu.

Anna dan Samuel yang berdiri di depan gerbang besi yang terkunci merasa heran dengan sikap wanita yang terlihat tidak lembut ini. Tapi Samuel memberanikan diri untuk menjawabnya. "Aku, dan cewek di sebelahku ini, mencari Clarisaa. Sahabat Isaac."

Wanita itu terlihat kaget dengan yang dikatakan Samuel. Lalu dengan tubuh yang tegang dia menghampiri Anna dan Samuel yang terpaku di depan gerbang. Wanita itu membukakan gerbang dan langsung mempersilahkan Anna dan Samuel untuk segera masuk ke dalam. Wanita itu terlihat sangat gugup dan tidak percaya. Sebelum sempat masuk ke dalam rumah, dia menjulurkan tangan dan berkata, "Aku, aku Clarissa. Clarissa Parker."

The First ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang