Epilog

1.5K 80 1
                                    

Anna's POV

"Malam ini begitu cerah, ya, Anna," ucap Lucas yang sedang duduk di sampingku.

"Ya, Luke, cerah sekali."

"Rasanya, aku ingin memberhentikan waktu saat ini juga," ucapnya lagi.

"Tapi Luke, bukankah malam di kota penyihir adalah yang terbaik? Setiap malam selalu indah. Kenapa kau mau memberhentikannya sekarang?" tanyaku. Memang benar. Malam di dunia penyihir memang indah. Tapi jika kau duduk di atas bukit, tepatnya di atas rumput hijau yang masih tercium dengan segar sambil memandang ke bawahnya, kau akan tahu betapa indahnya kota yang sebenarnya. Sekarang, di dunia fana jarang sekali ada tempat yang seperti ini. Semuanya telah berubah menjadi gedung-gedung tinggi, aspal, dan asap kendaraan yang mencemari udara di sana. Semua tidak sama lagi.

"Apakah ini rasanya tidak berada di bawah ancaman seorang Isaac?" tanya Luke setelah kita tidak saling berbicara untuk waktu yang cukup lama. Terpaku di pikiran masing-masing.

Aku menolehkan kepalaku ke arahnya. "Ya, mungkin Luke."

"Sudah bertahun-tahun dia menghantui para penyihir. Semua orang takut padanya. Semua orang tunduk padanya. Dan setelah semua penyihir tahu ada anak seorang Isaac, yang diramalkan akan membunuh ayahnya sendiri, datang ke kota ini, semua penyihir seakan-akan mendapat sebuah harapan kecil. Mereka pikir kau dapat menyelamatkan mereka dari bayang-bayang seorang Isaac. Dan, ya, kau berhasil melakukan itu. Kau, adalah harapan bagi mereka, Anna," dia berhenti sejenak, memandang kota penyihir dari tempat yang ia duduki. "Kau seperti pahlawan di kota penyihir sekarang. Kau baru saja menyelamatkan dunia. Kau,"

"Cukup, Luke, kau terlalu berlebihan," ucapku yang memotong ucapannya. "Aku hanya melakukan apa yang pantas aku lakukan, oke? Isaac memang jahat, dan jika ada kesempatan yang besar untuk membunuhnya saat itu, lalu kenapa harus kusia-siakan? Iya, kan?"

Luca mengangguk pelan.

"Tapi tunggu, Luke," ucapku yang teringat sesuatu. "Siapa yang memberitahumu kalau aku membunuh Isaac? Aku tidak membunuhnya."

Lucas menengok ke arahku cepat. "Kau jangan bercanda, Anna. Dia sudah mati sekarang. Kau yang sudah membunuhnya."

Aku menggelengkan kepalaku dan menghadapkan badanku ke arahnya. "Hey, dengar ya. Dia yang membunuhku. Kau ingat itu? Aku mati kemarin. Samuel menyelamatkanku. Dan aku tidak tahu, apakah Isaac sudah mati atau belum."

Lucas memandangku curiga dengan mengangkat salah satu alisnya. Dia menatapku dalam. Dia juga menatapku aneh. Apa yang dia lakukan?

"Aku melihat sesuatu saat kau di tusuk."

"Apa kau baru saja,"

"Ya, aku memasuki memorimu tentang hari itu."

"Lalu, ada apa?" tanyaku penasaran. "Apa yang kau lihat?"

"Bukan aku yang harus memberitahumu. Kau yang harus memberitahuku," ucapnya.

"Beritahu apa?"

"Ya aku tidak tahu, Anna. Kau yang tahu."

Aku menghela nafasku berat. Dan aku mulai kembali ke kejadian kemarin. "Aku ingat, saat aku ditusuk... Oh ya ampun!"

"Apa? Apa? Kau ingat sesuatu?"

"Ya," jawabku cepat. Ya, aku mengingat sesuatu yang aneh. "Saat aku ditusuk, aku merasakan sakit. Ya, benar. Aku merasakan kembali rasanya ditusuk oleh ayahku. Lalu, lalu, aku, melihat cahaya. Cahaya yang begitu terang. Dan, aku mendengar Isaac berteriak dengan kencang. Dan juga, aku mendengar bisikan-bisikan aneh."

"Bisikan aneh?" ucap Lucas yang terlihat memikirkan sesuatu. "Apakah berbunyi,"

"Hiduplah dengan tenang," ucapku dan Lucas berbarengan.

The First ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang