Saudara sejiwa

2.6K 155 1
                                    

"Perang?" tanya Anna yang sedang memegang pegangan di dalam kereta.

"Ya, kau akan tahu nanti," jawab Robert yang berdiri di samping Samuel.

Kereta yang mereka naiki lumayan banyak penumpang. Jadi mereka harus berdiri karena tempat duduk sudah lumayan penuh. Seketika itu, otak Samuel berpikir waras saat menyadari gerbong kereta yang mereka naiki lumayan banyak penumpang.

"Anna, saat kita berdua sedang di rumahku, kita sudah mau tidur, kan? Bahkan aku sudah tertidur," kata Samuel yang mengikuti gaya Anna dan Robert yang memegang pegangan. Samuel berdiri diantara Anna dan Robert. Kau tahu alasannya.

"Dan juga," kata Anna. "Sepertinya, masing-masing dari mereka saling mengenal. Seperti saudara." Anna memeperhatikan setiap laki-laki dan perempuan yang sepertinya berada di posisi mereka.

"Memang," kata Robert yang menengok ke arah Anna dan Samuel. Lalu menatap sekeliling. "Mereka semua penyihir. Kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh?"

Anna dan Samuel menggeleng tidak mengerti. "Sekarang jam," kata Robert yang memotong kalimatnya sendiri dengan melihat jam tangan seseorang yang sedang duduk tertidur di depannya. "Jam dua kurang seperempat, pagi. Seharusnya tidak ada petugas-petugas yang berjaga di sini. Seharusnya kereta ini tidak beroperasi pada jam sepagi ini. Dan, mana ada masinis yang mau repot-repot menjalankan kereta biasa di pagi ini, ya initinya, seharusnya kau tidak bisa naik kereta ini di waktu yang tidak tepat seperti ini kan? Iya kan?"

Anna dan Samuel mengangguk.
"Berarti, siapa petugas-petugas yang berjaga di stasiun tadi?" tanya Samuel.

Kereta berjalan lebih cepat. Rasanya seperti terayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Ke depan dan ke belakang. Anna, Sam dan Robert mengeratkan pegangan mereka. Penerangan di sana hanya ada di dalam kereta saja. Jadi, mereka tidak bisa melihat apa yang di luar sana. Dan mereka tidak tahu kemana kereta ini membawa mereka. Setidaknya, Samuel tahu daerah-daerah yang berada di Jakarta.

"Itu sebagian dari para Deandle," jawab Robert. "Yang dikhususkan untuk berjaga-jaga akan suatu bahaya jika berada di sekitar manusia. Mereka selalu mengawasi setiap penyihir baru dan siapa penyihir pendamping mereka. Kota penyihir sedang tidak aman. Kacau. Benar-benar kacau. Aku pun selalu malas menghadapi masalah disana," kata Robert dengan tangan yang terbuka.

"Kau pernah ke sana?" tanya Anna penasaran.

"Tentu saja," jawab Robert percaya diri. "Aku pernah ke sana saat umurku tujuh belas tahun. Aku ke sana bersama Alexandra. Nanti kalian juga akan bertemu dia di sana," kata Robert seraya melongok ke arah Anna.

"Memang, sekarang kau umur berapa?" tanya Anna dengan wajah polosnya. Sejujurnya, yang Anna rasakan menit-menit terakhir ini adalah detakan jantung yang tidak karuan. Pertama, saat dia mengetahui bahwa dia adalah penyihir, senangnya bukan main. Dia sempat membayangkan dia akan menjadi seperti Harry Potter. Yang bisa melakukan apa saja semau Anna. Membayangkan akan menemukan lelaki tertampan dan terkuat di kota penyihir nanti. Memakai tongkat sihir dan segala perlengkapan penyihir. Mengubah, membuat, mendatangkan, menghilangkan sesuatu layaknya Harry Potter. Dan mungkin dia akan melebihi kekuatan yang dimiliki Harry. Kedua, entah kenapa saat Samuel hendak melakukan sesuatu yang, Anna juga masih bingung hendak apa, jantungnya serasa jatuh ke bagian perutnya. Paru-paru berpindah ke arah kepalanya. Otaknya turun ke rongga-rongga dadanya. Sehingga dia pun benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Dan juga, sebagai wanita, siapa sih yang tidak mengagumi ketampanan Samuel? Semua wanita yang normal pasti akan menyukainya. Ketiga, datanglah laki-laki yang lebih tampan. Bukan, bukan tampan. Lebih mengarah ke menggoda dan menarik. Robert. Dia juga orang yang sangat asyik diajak berteman. Rasanya baru beberapa menit mereka bercengkrama, tapi mereka sudah seperti berteman dari tahun-tahun yang lalu. Serasa sangat akrab bila dilihat. Dan, Anna hampir saja tercemplung ke dalam dunia fairytale. Membayangkan seperti seorang putri kerajaan yang diperebutkan dua pangeran tampan sekaligus.

" Aku?" tanya Robert meyakinkan. Lalu dia tertawa saat membaca pikiran Anna. Rasa tertarik sangat terpancarkan pada aura Anna. Dan seketika itu juga, dia baru saja menyimpulkan ternyata Anna sangat manis. Walau yang dipikirkan Samuel ialah, Anna sangat menyebalkan, Robert tahu maksudnya. Dia hanya bisa menahan tawa melihat tingkah laku remaja yang sedah jatuh cinta ini. "Umurku sembilan belas tahun. Memang kau umur berapa?" tanya Robert dengan senyuman jahilnya.

"Umurku,"

"Permisi nona-nona," kata Samuel memotong kalimat Anna. "Jika kalian tidak keberatan, menjauhlah dariku. Tidakkah kalian mempunyai rasa kasihan? Aku ditengah-tengah sini, guys," kata Samuel sambil menunjuk kakinya tempat dimana dia berdiri. "Ajaklah aku berbicara juga. Kalian kira enak ya berada di posisiku saat ini?"

Melihat tingkah Samuel, Anna dan Robert hanya saling bertukar pandang. Lalu mereka tertawa selepas-lepasnya. Sampai-sampai, beberapa orang dalam kereta memperhatikan mereka dengan senyuman iri. Lalu Robert merangkul bahu Samuel dari posisinya. "Hey, dude. Kita ini saudara sekarang. Darah yang sama mengalir pada jiwa kita. Janganlah seperti anak kecil," kata Robert sambil mengacak-acak rambut milik Samuel. "Jadilah lelaki yang gagah," sambungnya sambil membusungkan dadanya, lalu menepuknya dengan telapak tangan kanannya. Dia memasang wajah yang konyol tanda mengajak bercanda. "Bukannya lembek seperti ini," kata Robert menunjuk dada Samuel yang sedikit membungkuk. "Jadi, jangan bertingkah seperti ini ya, adik manis," kata Robert sambil mencolek dagu Samuel dengan telunjuknya.

Lalu mereka bertiga tertawa sepuasnya melihat tingkah Robert dengan Samuel. Dan, kereta pun mengerem mendadak. Semua orang yang ada di dalam kereta terayun ke depan saat kereta memberhentikan lajunya. Pintu otomatis bagian kanan terbuka. Saat dilihat dari dalam kereta, terlihat seperti stasiun yang sama seperti saat mereka menaiki kereta. Sempat terpikirkan oleh Anna kalau dia sudah berada di stasiun kali bata lagi. Tapi, saat mereka bertiga keluar dan turun dari kereta itu, yang dilihat bukanlah stasiun. Melainkan sebuah ruangan abu-abu dengan banyak ukiran-ukiran aneh tertempel di setiap dinding. Ruangan itu tidaklah besar. Mungkin hanya sebesar kamar hotel pada rata-ratanya. Ukirannya pun sama seperti ukiran pada cangkir milik Clarissa. Dan inikah yang dinamakan pondok itu? pikir Anna.

"Ya, dan juga bukan," kata Robert setelah membaca pikiran Anna. "Inilah ruangan yang menghubungkan antara dunia penyihir dan dunia manusia. Pondoknya terletak di bawah tanah. Kau lihat pintu yang masih tertutup di sana?" tanya Robert sambil menunjuk pintu kayu tua yang tampak rapuh yang jaraknya tidak sampai tiga meter dari tempat mereka berdiri. "Itulah pintunya. Dibalik pintu itu, tangga kecil yang bentuknya memutar akan menuntun kita ke pondok."

"Kenapa pintunya masih ditutup?" tanya Anna. "Cepatlah buka! Aku tidak sabar ingin ke dalam pondok." Anna sangat tidak sabar ingin mengetahui kekuatan apa yang dia miliki. Semua penyihir pasti ingin mempunyai Laten. Yang bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Itu seperti kekuasaan di tangan mereka. Termasuk Annbelle.

"Sabarlah sedikit. Akan ada orang penting yang datang ke pondok," jawab Robert saat menatap seorang laki-laki tua yang menjaga pintu kayu tersebut dengan wajah yang benar-benar datar. Seperti sedang berkonsentrasi. "Entahlah. Katanya dia datang ke sini dengan suatu alasan. Dan katanya juga, alasan itu sangat, amatlah penting," sambung Robert yang masih menatap laki-laki tua tersebut.

The First ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang