Sayap itu patah dan hilang

2.2K 123 2
                                    

"Pintu ke kota.. penyihir?" tanya Anna bingung. Tapi Robert hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari tembok yang polos itu. "Bagaimana bisa ini satu-satunya pintu untuk kita pergi ke kota penyihir?"

"Bukan itu maksudku," teriak Robert panik. "Di setiap negara, hanya ada satu pintu. Dan tentunya, pintu itu hanya berada di pondok. Arggh! Sial! Sial! Sial! Sial! Uangku sedang di tahan oleh ibuku. Ya ampun! Sekarang kita harus bagaimana?"

"Mudah saja," kata Anna dengan mengangkat kedua bahunya. "Kita tidak perlu pergi ke kota dan tetap di sini. Lagi pula, belum seminggu aku di sini," lanjut Anna sambil tersenyum polos.

"Kau tidak mengerti situasinya, Anna," ucap Robert yang kini menatap Anna. Matanya penuh dengan kelesalan dan amarah. Itu membuat Anna bungkam dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. "Kita. Kau, aku dan juga yang lainnya. Diminta untuk menemui mentri di sana. Ini tentang keluargamu. Dan juga," kata Robert yang sedang mengambil nafas. "Ada kaitannya dengan keluargaku."

Anna diam tak berkutip. Dia menatap Robert balik dengan tatapan sendu. Dia seakan-akan berkata, "Aku minta maaf," dengan tatapannya. Tapi Robert tetap menatap Anna dengan tatapan yang sama dengan menit sebelumnya. Penuh kekesalan dan amarah.

"Ya Tuhan! Aku harus bagaimana?"

Itu suara Robert. Anna mendengarnya dengan jelas. Tapi Anna yang masih menatap Robert, tidak sama sekali melihat mulut Robert bergerak. Robert tetap diam menatap Anna.

Oh, ya! Anna baru ingat. Kalau dia ditakdirkan untuk menjadi Zeptic dan inilah dia. Dia bisa membaca pikiran Robert hanya dengan mengosongkan pikirannya dan menatap Robert.

"Oke! Biarkan aku berpikir," kata Robert yang mulai memijat pelipisnya. Dia menutup matanya sambil memutar otaknya. Uang. Dia harus mendapatkan uang. Tapi, tiket pesawat terlalu mahal. Dengan siapa dia bisa meminjam uang untuk membeli tiket untuk empat orang?

Alexandra! Dia Laten. Dia bisa meminjam, atau langsung mencuri pun tidak apa, pikir Robert. Asal dia bisa membeli tiket dan pergi ke negara sebelah. Eh, itu tidak perlu. "Kenapa aku bodoh sekali?!" gumam Robert sambil menepak dahinya sendiri. "Kenapa tidak suruh Alexa memindahkan pintu saja? Tidak perlu uang. Ya! Itu dia! Kita harus cari Alexa!"

Anna mendengar itu. Setelah Robert berlari meninggalkan aula, Anna mengikutinya di belakang. Robert berlari sambil meneriakkan nama Alexa sekencang-kencangnya. Dia tidak peduli dengan para penyihir baru yang mengomel karena berisik. Dia terus meneriakkan nama kekasihnya hingga batang hidungnya muncul.

"Apa? Kau berisik!" teriak Alexa yang baru keluar dari kamarnya dengan rambut yang berantakan. "Kau tidak punya jam ya?" Robert yang justru kaget dengan teriakan Alexa, menggeleng pelan. "Sekarang. Sudah. Jam. Dua. Dini. Hari. Robert!" kata Alexa dengan penekanan disetiap katanya.

Robert hanya menghela nafas. Berusaha untuk tidak emosi dan tetap tenang. Dia tahu Alexa bukan tipe wanita yang seperti Anna. Alexa tidak tomboy. Hanya saja, dia ingin menjadi anak perempuan tanpa harus menjadi berlebihan. Dan itulah yang Robert sukai. Dia tahu, sekarang masih sangat pagi untuk membangunkan pacar, tapi ini beda masalahnya.

"Aku tahu!" kata Robert setenang mungkin. "Tapi kau tidak tahu, kalau pintu ke kota telah lenyap."

Dengan sekejap, mata Alexa membulat sebulat-bulatnya. Mulutnya sedikit terbuka, dan langsung dia tutup dengan tangan kanannya. "Ya ampun!" teriaknya sambil berlari. Dia berlari secepat mungkin untuk membuktikan kebenaran itu. Dan saat sampai di aula, dia hanya bisa menutup mulutnya lagi dan melotot kaget. "Bagaimana bisa? Lalu, kita harus bagaimana?" tanya Alexa yang mendadak histeris.

"Kau. Kau yang bisa," kata Robert yang berdiri di belakang Alexa.

"Aku?" tanya Alexa bingung. Lalu dia berbalik dan menatap Anna dan Robert bergantian.

The First ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang