Mimpi pengantar mati

2.2K 131 3
                                    

Di sini gelap. Samuel hanya bisa melihat satu titik penerangan di ujung sana. Kalaupun dia ingin ke titik itu, pasti membutuhkan waktu yang lama. Tapi harus bagaimana lagi. Dia ingin pulang. Di tempat gelap ini tidak nyaman.

Akhirnya, Samuel memutuskan untuk menuju ke penerangan itu. Walau harus melewati rintangan yang tidak terlihat oleh mata, dia akan mencapai titik itu dan meminta sesuatu. Mungkin ada 'orang' yang bisa membantunya keluar dari sini.

Dia mulai berjalan pelan-pelan. Di tempat itu, hanya tapakan kaki Samuel yang mendengung. Tapi, Samuel justru mendengar suara lain. Mungkin salah satu dari mereka yang sama seperti Samuel.

"Mataku sudah gatal ingin melihat penderitaan orang lagi. Tapi, siapa yang harus ku buat menderita? Anakku belum cukup merasakan itu. Saat aku sedang berusaha membuat teman-temannya terluka, dia justru bermesraan dengan lelaki yang sialan itu. Anak dari Arthur... Rgghhh!! Dia berani memegang anakku ya? Wah! Wah! Tidakkah dia berpikir siapa aku? Oh ya, aku lupa. Dia mau berpikir lewat mana? Otak saja tidak punya. Dasar bodoh! Kalau dia tidak punya otak, cobalah dia membuat replika otaknya. Setidaknya, dia bisa disebut manusia kalau dia mempunyai otak, haha."

Suara perempuan. Dan Samuel ingat betul suara milik siapa ini. Suara yang halus dan sedikit berat. Tapi, kenapa dia baru saja mengatakan seorang anak? Bermesraan? Apa yang dimaksud itu adalah Anna? Kalaupun bukan, wanita itu belum mempunyai anak. Dan Samuel juga jelas mendengar kalau dia menyebut anak dari Arthur. Apa maksudnya itu ayahku? pikir Samuel. Berarti, dia membicarakan aku?

Karena Samuel bingung dengan apa yang dibicarakan wanita ini, akhirnya dia mulai mengikuti sisa-sisa suaranya yang mendengung. Dia semakin mendekati sumber suara itu sambil meraba-raba apa yang ada di depannya. Lalu dia menemukan sebuah kayu tinggi yang kemungkinan adalah pintu. Dia mulai meraba-raba lagi dan akhirnya, dia menemukan benda itu. Kenop bulat yang dingin. Sepertinya dibuat dari besi.

Karena tidak sabar lagi, dia memutar kenop itu dan mendorongnya sampai terbuka. "Oh, kebetulan sekali. Aku baru saja membicarakanmu tadi," ucap wanita itu dan kedengarannya seperti sedang berjalan mendekati Samuel. "Bagaimana mimpi indahmu ini, Samuel sayang?" tanya wanita itu lagi sambil mencolek dagu Samuel.

"Alexa?"

****

"Hey! Aku ingin minta tolong sesuatu, boleh?" tanya Anna malu yang sedang duduk di kursi tepat di depan mejanya David. Sedangkan Robert duduk di kursi David.

Ruangan David kosong. Saat Robert pertama masuk ruangan itu tadi, dia menemukan secarik kertas kecil di atas meja itu. Di sana tertulis kalau David sudah berangkat ke kota penyihir. Katanya, dia dipanggil oleh ayahnya karena ada urusan penting. Dan juga, dia pergi membawa kembaran pacarnya, Sandra.

"Minta tolong apa?" tanya Robert balik pada Anna tanpa membalas tatapan Anna yang sedang memandangnya bingung. Robert justru sedang mengacak-acak laci yang berada di bawah meja David.

"Hm, aku minta, tolong jangan beritahu siapa-siapa ya tentang yang..."

"Coba kau lihat ini!" kata Robert yang memotong kalimat Anna. Dia baru saja mengeluarkan sebuah amplop coklat dari laci David. Di bagian atasnya, ada sebuah label dengan tulisan, 'Kasus Richard.' Lalu Robert mulai membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. "Dia Sophia. Ini ibunya Samuel," kata Robert sambil mengeluarkan foto seorang wanita dengan rambut pirangnya yang mencolok.

"Dia... cantik," kata Anna sambil tersenyum. Lalu dia mengambil foto itu dan mengelusnya pelan. Mungkin saja dia bisa mengelus sosok asli dari foto ini. Dan itu memang keinginan Anna. Dia berharap semoga orang ini bisa berada di depannya dan tersenyum pada Anna. "Dia di mana sekarang?"

"Di kota," jawab Robert singkat.

"Dia tidak ingin melihat Samuel di sini? Kenapa tidak berkunjung walau hanya untuk mengucapkan hai untuk Samuel?" tanya Anna lagi dengan mata yang tetap terfokus dengan foto itu. Mungkin saja ibu Samuel bisa mendengar Anna yang sedang menginginkan kedatangannya.

"Dia sakit. Jiwa," jawab Robert sambil mengacak-mengacak isi amplop coklat itu.

"Kenapa?" tanya Anna lagi yang membuat Robert mendengus kesal.

"Coba kau bayangkan," kata Robert yang memandang Anna malas.
"Samuel, tiba-tiba saja mati. Kau melihatnya. Dadanya bolong. Berdarah-darah. Dan dia..."

"Oke, cukup," kata Anna yang memotong kalimat Robert dengan mengangkat tangannya di depan mata Robert. "Aku bisa bayangkan itu. Pasti sangat berat untuk ibu Samuel, ya?"

Robert mengangguk. "Ini," kata Robert yang mengeluarkan satu foto lagi. "Ayahnya," lanjut Robert.

Anna mulai mengambil foto itu lalu mengamatinya. Lelaki itu sepertinya sedang berada di pondok. Karena latar belakangnya tepat berada di aula. Foto lelaki dengan rambut yang hitam dengan sedikit warna putihnya. Mata lelaki itu tajam seperti elang. Tapi, ada satu bagian yang mirip dengan Samuel. Bibirnya. "Mirip," kata Anna.

Robert hanya bisa menahan tawa saat membaca pikiran Anna. "Tadi itu, ciuman pertamamu ya?" tanya Robert dengan senyuman jahilnya.

"Apa?" teriak Anna kaget. Lalu wajah Anna berubah sedikit merah karena malu.

"Hm? Hm?" tanya Robert lagi sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Anna pura-pura menatap foto ayah Samuel lagi tapi kenyataannya, dia sedang mengomel pada dirinya sendiri. Bodoh! Bodoh! Bodoh!

"Mengaku sajalah," kata Tobert yang sudah bercengir kuda. Lalu Anna mengangguk membuat Robert tertawa pelan. "Pantas saja! Kasihan Samuel. Dia kurang puas tadi," lanjut Robert yang langsung dipelototi oleh Anna.

"Kau ini! Mau lihat aku naik darah ya?" tanya Anna tapi diabaikan oleh Robert.

"Oh ya, pacarmu mana?" tanya Robert yang mulai bingung. "Biasanya, dia selalu menempel dengannu," lanjutnya dengan menaikkan kedua alisnya berkali-kali.

"Ah, aku tidak peduli. Kalau dia di sini, pasti aku akan mati ditempat karena mu," kata Anna yang masih mengamati foto ayah Samuel. Tiba-tiba foto itu bercahaya di bagian pojok kanan atas. Karena kaget, Anna langsung menjatuhkan foto itu. Dan cahaya itu langsung padam seperti api yang disiram air.

"Kenapa?" tanya Robert bingung dengan sikap Anna yang tiba-tiba.

"Kau tidak melihat itu?" tanya Anna.

Robert menggeleng bingung. "Tidak," kata Robert. Lalu dia mulai memungut foto yang terjatuh di dekat kakinya. Di foto itu, memang ada bercak hitam seperti habis terbakar. Dan bagian yang terbakar adalah pintu coklat yang berada di sudut ruangan aula. "Mungkin ini hanya,"

Gubrak!

"Oh! Tidak!" kata Robert panik. Dia langsung bangkit dan bergegas ke sumber suara itu. Aula.

Anna mengikuti Robert di belakang. Mereka berlari secepat yang mereka bisa menyusuri lorong. Dan setelah sampai di sana, tirai yang berwarna merah marun sekarang sudah terkoyak di lantai. Kain itu sudah sobek menjadi potongan-potongan yang kecil. Lalu terdengar suara kayu-kayu yang berjatuhan. Mereka langsung memasuki aula dan benar saja. Di sudut ruangan yang seharusnya ada sebuah pintu, sekarang tidak ada. Tempat di mana pintu itu berdiri, sekarang hanya ada tembok.

"Pintunya?" tanya Robert panik. Matanya melotot kaget. Dia segera menghampiri tembok yang kosong itu dan meraba-rabanya. Berharap akan ada suatu keajaiban. Pintu yang hilang itu akan kembali.

"Memangnya itu pintu apa?" tanya Anna bingung. Dia berpikir, kalau pintu di pondok ini tidak hanya satu. Pasti lebih dan jumlahnya banyak.

"Itu.." kata Robert yang masih melotot. "Itu adalah satu-satunya pintu untuk ke kota penyihir," sambungnya.

****

Maaf aku baru nongol. Abis ditelen bumi hehe. Untung ada Robert yang mau nolongin akoh..

Vote&comment aku tungguuhhh.. ;*

The First ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang