#5

2.8K 219 41
                                    

Ini aku pake pov Dina aja ya biar cepat update. Ubah cerita dari pov pertama jadi ketiga, ternyata gak segampang yang aku duga wkwk. Semoga suka 😅😅😅

***

Kehadiran Reza benar-benar buat gue ketar-ketir. Entah mengapa semangat Reza, mengingatkan akan perjuangan gue mendapatkan perhatian Rifky, dulu. Kalian gak salah baca kok. Emang gue yang berjuang akan hubungan kami, makanya gue gak ridho kalo cowok gue ditikung. Sama cewek aja gue ogah, apalagi cowok! Walaupun kalau cewek masih bisa gue mengerti sih. Duh gue emang plin-plan.

Reza dengan ajaibnya selalu muncul di saat gue dan Rifky lagi jalan berdua. Jangan lupakan chat-chat dia di medsos punya Rifky. Untung aja gue bergerak cepat, diam-diam kontaknya udah aku blok. Satu usaha Reza udah teratasi.

Hari ini, gue rencananya mau ke kantor Rifky bawain bekal makan siang. Makanya dari pagi gue dengan semangat empat lima menginvansi-menghancurkan-dapur milik mama. Gue udah bertekad untuk belajar memasak untuk menarik atensi Rifky. Semua cowok pasti suka sama cewek yang jago masak 'kan? Makanya gue rela-relain di jadwal kuliah kosong, bangun pagi, ke dapur pula.

"Ma, ini garemnya kalo lima sendok kira-kira udah cukup? Atau kurang, Ma?"

"Ya Allah, Dina, kamu mau racunin yang makan!" seru wanita berbaju daster yang gue panggil Mama.

"Yah enggak lah, Ma, ini kan buat Rifky. Masa mau bunuh calon suami sendiri. Bisa-bisa Dina jadi janda sebelum nikah dong."

Mama cuma geleng-geleng kepala-kek orang lagi disko-mendengar ucapan gue. "Emang Rifky, mau, nikahin kamu? Yang nakar garem aja gak bisa?"

Ya ampun, jleb. Punya mama kok omongannya nyes sampe di hati ya? "Dih Mama sama anak sendiri juga. Jadi gimana ini?"

"Ya udah kamu pergi aja, biar Mama yang lanjutin. Ini demi masa depan, calon mantu Mama."

***

Sekarang gue lagi di angkot menuju kantornya Rifky. Seperti yang gue bilang sebelumnya, gue mau kasih kejutan buat Rifky dengan bawain makan siang, hasil masakan sendiri pula. Eh, hasil masakan sendiri plus sedikit bantuan dari mama. Calon istri idaman banget 'kan? Semoga aja Rifky, berpikiran sama. Amin.

Kantor Rifky lumayan jauh dari rumah gue yang berada di pinggiran kota, harus ganti angkot sekali untuk tiba di sana. Begitu turun dari angkot, gue langsung masuk ke gedung yang bertuliskan 'Soedibjo Tower' yang merupakan pusat gedung perkantoran di kota ini.

Berhubung udah beberapa kali ke sini, gue udah hafal di mana letak kantor Rifky. Jadi gue langsung saja menggunakan lift dan memencet tombol angka empat, lantai di mana kantor Rifky berada.

Keluar dari lift, gue langsung menuju meja resepsionis. "Hai, Din, lama gak mampir ke sini?" sapa mbak Lisa, cewek di balik meja resepsionis. Gue udah kenal sama cewek satu ini, beberapa kali kami sempat ngobrol saat gue mampir ke sini.

"Hai juga, Mbak Lis. Iya nih sibuk di kampus." Ya sudah sebulan lebih gue gak ke kantor Rifky, karena sibuk dengan urusan kampus. Mana gue mulai mengajukan skripsi pula.

"Oh iya, Rifky-nya ada?"

"Emang kamu gak janjian dulu sama Rifky?" Bukannya menjawab, mbak Lisa malah balik bertanya ke gue. Jadilah gue menggeleng sebagai jawaban.

"Kalo gak salah, lima menit yang lalu, Rifky udah keluar deh. Mungkin ke kantin, tadi sama temennya juga."

Gak biasanya Rifky keluar sebelum jam istirahat. Sama temennya? Siapa ya? Kok kesannya gue posesif banget ya.

"Yaudah Mbak, aku ke lantai sepuluh aja kalo gitu. Makasih." Setelah berbasa-basi sebentar dengan mbak Lisa gue pun pamit dan kembali masuk ke dalam lift, menuju ke lantai sepuluh, di mana kantin gedung ini berada.

Tiba di lantai sepuluh, gue langsung mencari keberadaan Rifky. Untung saja belum waktu makan siang, kantin masih lumayan sepi. Sehingga memudahkan gue menemukan keberadaan Rifky.

Gue nemuin Rifky duduk di salah satu meja kantin, bersama temannya. Setelah gue makin dekat dengan mereka, gue baru nyadar kalo itu, Reza, saudara-saudara. Cowok yang gue rasa menjadi ancaman dalam hubungan gue dan Rifky.

Mereka tampak asyik ngobrol yang entah apa, gue masih cukup jauh untuk mendengar pembicaraan mereka. Shit, apa-apaan itu? Kenapa pipi Reza menjadi memerah? Mereka gak lagi flirting 'kan?

Dada gue langsung terasa sesak, padahal gue yakin selama ini gak mengidap yang namanya penyakit asma. Pikiran-pikiran negatif mulai berkeliaran dalam otak gue. Apa selama ini, yang dikatakan Riri dan Dion benar? Apa gue siap, nerima kenyataan?

Rasanya gue pengen lari aja, tapi badan gue menghianati otak dan hati suci ini. Gue malah melangkah, mendekati mereka.

"Hai!" sapa gue, yang langsung menghentikan obrolan mereka. Rifky menatapku kaget, sedangkan Reza tampak salah tingkah. Seperti orang yang baru saja ke-gap selingkuh.

Tuhan, kuatkan hambamu ini.

"Sorry, gak ganggukan? Aku cuma mau ngasih ini, Rif," ucap gue sambil meletakkan bekal yang tadi pagi udah dimasak oleh gue dibantu dikit sama mama.

"Eh aku duluan ya, Rif. Buru-buru nih, Riri udah nunggu di bawah," kilah gue, padahal seperti kalian tahu gue datang sendirian, naik angkot pula.

Tanpa menunggu jawaban Rifky, gue langsung membalikkan badan dan segera masuk ke dalam lift. Sialnya, Rifky, bahkan gak coba untuk mengejar gue.

To be continue...

Andieeeeer
Pinrang, 3 Juni 2017

Pacarku Bukan GAY!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang