Setelah puas nangis, gue lap air mata terus natap tepat di mata Dion yang sedari tadi natap gue, khawatir.
"Yon, kenapa sih gue sukanya sama Rifky. Bukan ke lo aja." Raut wajah Dion tiba-tiba menjadi kaku, untung aja jakunnya masih gerak, tanda dia masih hidup.
"Jangan becanda lu, Din," desis Dion dengan tatapan tajamnya.
"Maksud kamu apa sih, Yon?" tanya gue gak ngerti, sambil mengelap ingus yang mulai menginvansi hidung. Kebiasaan banget dah, abis nangis pasti pilek.
"Lu tuh, maksudnya ngomong kek tadi, apa coba?"
"Ya kamu suuzan mulu sih. Maksud gue tuh, kalau jatuh cinta sama lu kan gue bisa mundur duluan pas tahu lo gay. Gak perlu repot-repot gue perjuangin. Sayangnya, dari awal gue udah kepincut sama Rifky—Eh anjir!" Gue dikagetin dengan adanya kotak tisu terbang. Untung reflek gue bagus, jadi tuh kotak tisu malah nabrak kaca jendela mobil Dion. Coba yang dilempar ponselnya, dengan senang hati gue tangkap terus gue jual. Lumayan.
"Kenapa woi? Kejam amat!"
"Lu tuh ya, nangis masih aja mikir kema—aww!" Kalimat Dion yang terputus karena ringinsannya sendiri, buat gue natap dia khawatir.
Dion gak ngejawab cuma ngeringis aja. "Kenapa? Oh astaga, gue lupa obatin lukanya." Efek keasyikan nangis nih, gue jadi lupa kalau Dion lagi luka.
"Kita ke apotek dulu ya, beli obat merah sama kapas."
"Gak usah, ada kotak P3K di bagasi." Jadilah gue turun lagi, ngambil kotak obat.
"Aww, hati-hati, Din!" rengek Dion begitu lukanya gue bersihin dengan kapas beralkohol.
"Jadi cowok kok, manja banget." Bukannya makin pelan, gue malah pencet tuh luka di tepi bibirnya. Dion gak gak membalas lagi, hanya ber-aww-aww ria, sambil natap gue dengan death glare. Mungkin kalau di anime tuh tatapannya kek sharingan punya Naruto apa Sasuke ya? Itulah pokoknya.
"Nah anak pintar," ucap gue sambil nepuk kepala Dion begitu selesai ngobatin lukanya pakai obat merah. Gue juga gak lupa untuk nutupin lukanya dengan plaster luka bergambar kartun, yang selalu gue bawa di tas.
"Harus banget ya, gambarnya Hello Kitty?" keluh Dion, sebenarnya dari awal dia ngelihat gue keluarin tuh plaster, dia udah ganti tatapan membunuhnya dengan tatapan ngeri. Tapi untung aja, setelah gue ceramahin—ngoceh sambil melas—akhirnya Dion setuju juga.
Gue menggeleng dengan tegas sebagai jawaban. Dion pun menghembuskan napas dengan sedikit kasar, "Yaudah, kita pulang aja."
Baru aja gue mau nyalain mesin mobil, lagi-lagi gue ditahan sama Dion. "Kenapa?"
"Gua aja yang bawa mobilnya?"
"Emang lo bisa?"
"Yang ditonjok muka gua, bukan tangan, Din."
"Oo. Terus, tadi kenapa lu gak bisa jalan?"
"Akting," jawab Dion cuek.
"Anjir."
"Lagian bukannya nolongin malah asyik marah-marah."
"Dih."
"Udah, buruan pindah." Gue pun milih mengalah, turun dari mobil untuk bertukar tempat dengan Dion yang kini kembali duduk di balik kemudi.
"Yon, tadi kenapa lo tegang banget waktu gue nanya 'kenapa gue sukanya sama Rifky. Bukan ke lo aja?'"
"Gue cuma mikir gimana caranya nolak lo," jawab Dion dengan mata yang masih fokus ke jalan.
"Dih, emang gue nembak lo apa? Jangan-jangan lo baper ya?"
Dion cuma berdeham sekali dan tetap fokus mengemudi. Sama sekali gak menjawab pertanyaan gue.
To be continued...
Makin gaje gak sih? 😂😂😂 See ya empat hari lagi 😍😍😍
Andieeeeer
Makassar, 6 September 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...