#17

2K 179 80
                                    

Pencarian yang sia-sia. Rasanya, pengen lapor ke polisi saja. Tapi mana ada orang hilang minta izin ke bokap dan kantornya? Bisa dikatain sinting nanti sama pak polisi.

Walaupun di salah satu lirik lagu, menunggu itu menyakitkan, gue memilih untuk nunggu. Kalau emang Rifky sayang sama gue, dia pasti kembali dan jelasin semuanya.

***

Setelah menunggu sang dosen pembimbing hampir seharian, akhirnya gue bisa pulang juga. Adzan maghrib sudah dikumandangkan, tapi gue belum nyampe rumah.

Tiba depan rumah, gue dikagetkan dengan adanya mobil yang sangat gue kenal terparkir. Mobil Honda Brio hitam milik Rifky. Setelah mengecek mobilnya kosong, tanpa pikir dua kali, gue langsung melesat masuk ke halaman rumah.

Di kursi teras, gue bisa lihat cowok yang beberapa hari ini buat gue gak bisa tidur tenang, lagi duduk sambil mainin hapenya. "Rifky?" panggil gue, antara percaya atau tidak.

Rifky yang tadinya fokus ke ponselnya, kini beralih menatap gue, "Din?"

Din.... Entah kenapa gue pengen mewek saat dengar Rifky manggil gue dengan nama, bukan 'Yang' sepertinya biasanya.

Namun, gue nyoba untuk menepis semua itu. Rifky gue ada di sini. Itu yang penting. Dengan sedikit berlari, gue menghampiri Rifky dan memeluknya, erat.

"Kamu kemana aja sih?" bisik gue sambil tetep memeluk sosok yang sangat gue rindukan ini. Gue bisa ngerasain, Rifky menepuk-nepuk pundak gue yang masih dalam pelukannya.

"Gue nemenin Reza, Din. Dia butuh aku," jawabnya pelan.

Jawabannya membuat gue melepas pelukan dari Rifky. Gue pun beralih menatap wajahnya yang kini mulai dihiasi cambang tipis. Lalu menatap maniknya yang bewarna coklat muda.

"Reza? Reza lagi?"

"Iya, dia sakit dan cuma aku yang ada buat temenin dia," jawab Rifky mencoba untuk meyakinkan gue. Bukannya percaya, gue malah merasa tertohok dengan jawaban Rifky.

"Kamu pikir aku gak sakit? Aku juga sakit, Yang. Aku masuk RS hari itu dan pacar yang aku harepin bisa nemenin aku malah nemenin cowok lain." Gue bisa lihat Rifky tersentak mendengar ucapan gue.

"Kamu sakit? Kok kamu gak bilang?" Rasanya pengen ketawa denger pertanyaan Rifky, mungkin cuma Tuhan dan temen-temen gue yang tahu gimana usaha gue buat hubungi dia.

"Gimana mau bilang? Ponsel kamu aktif gak? Kamu sendiri coba hubungin aku? Gak 'kan?" Rifky cuma diam mendengar ucapan gue, gue gak bisa deskripsiin gimana ekspresi wajahnya. Gue terlalu kecewa.

Melihat Rifky tetap diam dan gak ada tanda-tanda akan membalas, gue pun lanjut mengeluarkan unek-unek gue, "Kamu cuma hubungi bokap sama kantor. Saat kamu, aku jadiin salah satu prioritas dalam hidup aku. Kamu malah sebaliknya. Kamu nempatin aku di nomor sekian dalam hidup kamu. Atau malah aku gak ada dalam prioritas kamu?"

Gue nyesek banget ucapin itu semua. Air mata gue mulai mengucur dengan derasnya. Gue dengan segera menepis tangan Rifky bergerak untuk menghapus air mata gue. "Udahlah Rif, aku capek makan hati. Sekarang aku tanya, seberapa penting sih aku di hidup kamu?"

Satu.

Dua.

Tiga.

Sepuluh.

Empat puluh.

Enam puluh.

Sudah satu menit, gue nunggu dan Rifky tetap diam. Gue antara pengen semakin nangis atau ketawa ngehadapin kenyataan ini. "Haha, sesusah itu ya, Rif? Padahal cuma jawab iya atau tidak aja, kamu gak bisa."

"Daripada bertahan, mending kita putus aja, ya? Maaf dan makasih untuk semuanya." Gue benar-benar udah gak sanggup, berdiri di depan Rifky. Setelah mengucapkan kalimat tadi, tanpa menunggu respon Rifky, gue segera masuk ke dalam rumah. Semoga aja gue gak menyesal dengan keputusan ini.

End? Or TBC?

Ending aja ah, gak sanggup lagi 😥😥😥

Andieeeeer,
Pinrang, 22 Agustus 2017

Pacarku Bukan GAY!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang