Setelah ujian akhir kemarin, hubungan gue sama Rifky membaik. Dalam artian kami memulai segalanya dari awal, alias temenan. It's better-lah ya, dibandingkan menjadi dua orang asing, padahal ada kisah sebelumnya. Keknya wisuda bikin gue lebih bijak, ya?
"Mytha, nyuruh aku nganterin kamu ke sini," ucap Rifky sambil menunjuk sebuah salon di seberang tempat mobil Rifky berhenti.
Gue tau salon itu adalah tempat langganan Mytha. Pertanyaannya, ngapain gue ke sana?
"Ngapain?" Rifky mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.
"Yaudah deh. Kamu turun juga?"
"Gak. Masih ada urusan."
"Oh. Oke." Gue pun turun dari mobil dan hendak menyeberang ke arah salon tadi.
"Sampai ketemu nanti malam. Aku duluan, ya," ucap Rifky pas gue mau nyebrang. Sehabis ngucapin itu, Rifky pun melajukan mobilnya tanpa nunggu gue nyebrang lebih dulu.
Begitu masuk ke dalam salon, gue disambut oleh ketiga kunyuk yang sayangnya sahabat gue.
"Ngapain sih kita ngumpul di salon?" tanya gue ke mereka bertiga.
"Lu gak inget apa, hari ulang tahun lu?" jawab Mytha sambil menarik gue dengan paksa menuju sebuah kursi rias.
Ah iya, gue baru ingat, ntar malam papa ngadain pesta ulang tahun sekaligus perayaan wisuda gue yang udah lewat seminggu yang lalu.
"Inget. Terus kenapa?"
Mytha menepuk dahinya pelan, "Ya. Karna ini pesta, lu mesti dandan secantik mungkin dong, Din."
Jujur gue gak begitu kepikiran sampai harus ke salon kek gini. Paling juga pesta biasakan? Cukup dandan alakadarnya juga cukup.
Karena tidak ingin berdebat, gue milih untuk mengalah dan mengikuti semua rencana mereka. Namun, itu gak berlangsung lama saat gue tau yang dandanin gue itu seorang banci yang ngondeknya minta ampun cyin.
Lewat cermin, gue bisa lihat ketiga kunyuk itu ketawa jahat melihat gue tersiksa seperti ini. Fix ini mah gue dikerjain.
***
Gue gak pernah tau, jika pesta gue dirayain di sebuah restoran yang bisa dibilang lumayan ekslusif seperti ini. Tamu-tamunya aja pada pakai pakaian formal. Pantesan gue disuruh dandan dan dipakein gaun.
"Yakin lo, ini pesta gue?" tanya gue masih gak percaya saat memasuki private room yang papa booking.
Riri menatap gue malas, "Menurut lu? Coba lihat itu bokap siapa?" ucapnya sambil menunjuk papa dan mama yang lagi asyik bermesraan berdua di pojokan.
Tak berapa lama, kak Dian dan beberapa temen gue mulai bermunculan. Gue sedikit kaget pas melihat Dion dan Reza juga ada di sini.
"Selamat, ya, Din. Lama gak ketemu dah sarjana aja lu," ucap Dion sambil menjulurkan tangannya untuk memberi gue selamat.
Gue membalas uluran tangannya sambil tertawa garing mendengar ucapan Dion itu. Karena pada kenyataannya, entah gue atau dia sendiri yang menghindar.
Gue besyukur banget ketika July datang sehingga gue mampu keluar dari ke-awkward-an yang terjadi di antara gue dan Dion ini.
"Eh ada Dion." July tersenyum ramah ke arah Dion lalu menarap gue. "Din, lu dipanggil tuh, pestanya dah mau mulai," sambungnya.
Gue mengangguk paham. "Yon, gue duluan ya."
Gue pun duduk di bagian ujung meja panjang yang di sampingnya udah duduk keluarga dan sahabat-sahabat gue.
Di depan gue udah ada kue ulang tahun bertingkat yang di atasnya berhiaskan tiara berwarna emas.
Seperti pesta pada umumnya, acara gue dimulai dengan papa yang ngasih sambutan dilanjutin oleh ketiga sahabat gue yang ngasih ucapan selamat. Yang gak pernah ketinggalan tentu saja acara tiup lilin dan potong kue.
Saat membagikan kue, gue baru nyadar kalau ada seseorang yang gak datang. Apa dia lupa? Tapi tadi dia bilang, sampai ketemu malam ini?
Asyik dengan pikiran gue, tiba-tiba lampu dalam ruangan mati. "Mati lampu?" tanya gue entah ke siapa.
Belum sempat pertanyaan gue terjawab, tiba-tiba sebuah lampu sorot di atas panggung menyala yang memunculkan orang yang gue cari-cari, Rifky.
"Selamat malam semuanya. Selamat ulang tahun buat si gadis istimewa, Dina." Setelah mengucapkan itu, sebuah lampu sorot kembali menyala. Kali ini tepat di atas gue.
Karena ada penerangan membuat Rifky bisa melihat tepat di kedua netra gue.
"Sebagai ucapan selamat. Saya akan menyanyikan sebuah lagu. Tapi sebelumnya, tolong dimaklumi jika suara saya fals."
Gue dan tamu lain tertawa mendengar ucapan Rifky itu. Tawa kami berhenti secara otomatis ketika suara dentingan piano mulai terdengar. Entah siapa yang memainkannya, karena fokus gue saat ini cuma seseorang di bawah lampu sorot yang ada di atas panggung.
To be continued....
Gara-gara fokus ke nulis challange 31dwc, aku jadi gak update cerita ini padahal udah hampir penghujung tahun T.T. Semoga target selesaiin cerita ini sebelum tahun baru bisa terlaksana. Aamin. Ngebut ini mah. Ide tolong jangan mentok!!!
Kalau ada yang gabut bisa cek ceritaku yang 31 Days Writing Challenge (judul sementara) genrenya fanfiction, cerita pendek lebih pendek dari ini tiap partnya. Terlalu manis, dapat menyebabkan diabetes.
Halah. Kok malah promosi. 🙄🙄🙄
Andieeeeer
Pinrang, 24 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...