Tidur gue malam itu adalah salah satu tidur ternyenyak gue selama sebulan terakhir ini. Entah karena gue capek menangis, atau hubungan gue membaik dengan Rifky. Aits, membaik bukan berarti kami balikan, ya. Gue masih ngarepin Rifky menjauh untuk sementara. Gue masih perlu untuk membenah hati. Mencari apa yang gue mau sebenarnya. Lagian gue belum percaya sepenuhnya sama Rifky. Bisa ajakan dia berubah so loveable itu karena ada maunya 'kan.
Pagi ini kami sarapan dengan formasi lengkap, ada mama dan papa, serta kak Dian. Pengen banget gue setiap hari sarapan dan makan malam seperti ini. Tapi mau gimana lagi, papa kerjanya di luar negeri hari ini aja beliau udah mau balik lagi ke Dubai sana. Kak Dian juga udah kerja, gak tiap hari di rumah. Suatu hari nanti kami juga pasti bakalan nikah dan hidup bareng keluarga masing-masing. Sarapan kayak gini bakalan jadi hal langka dan kami rindukan.
Pas selesai makan, bel rumah berbunyi. "Din, kamu bukain pintu, gih. Ini biar Mama sama kakakmu yang beresin."
"Sip." Gue pun segera meluncur ke arah ruang tamu.
"Kamu? Kok?" Siapa lagi yang bisa gue harapin datang ke rumah pagi-pagi gini. Selain Rifky?
Permintaan gue untuk bertemu untuk sementara, sepertinya gak bakalan jadi kenyataan. Iya sih, kemarin dia gak iyain ataupun nolak permintaan gue. Tapikan ....
"Aku dipanggil sama Papa kamu," ucap Rifky, mungkin mengerti akan sikap gue saat melihat dia.
Gue cuma bisa memutar bola mata dengan malas saat mendengar jawaban dia. "Yaudah deh." Gue pun membuka pintu lebih lebar tanda mempersilakan Rifky untuk masuk.
Papa muncul dari ruang tengah saat Rifky baru saja mendaratkan pantatnya di sofa ruang tamu. "Eh udah datang, Rif? Udah lama?" Gue roll eyes mendengar pertanyaan papa yang basa-basi banget. Padahal beliau tau betul Rifky baru datang.
"Iya, Om. Baru nyampe kok," jawab Rifky sambil menyunggingkan senyum formalnya.
"Yaudah kamu duduk dulu. Din, ambilin minum gih. Papa mau siap-siap dulu."
"Papa, udah mau berangkat? Pesawatnyakan jam dua belas?"
"Inikan udah mau jam delapan, biar gak buru-buru, gak kena macet juga. Udah ah, kamu ambilin minum sana."
Iya sih benar juga alasan papa, mending kecepetan dan nunggu lama di bandara daripada telat ketinggalan pesawat. Mana ini perjalanan luar negeri, tiketnya mahal.
***
Setelah papa siap, kami—gue, Rifky dan papa—pun berangkat ke bandara. Mama gak ikut, gak kuat katanya, ini aja pas papa pamitan nangis kejer kek di drama-drama. Padahal dari awal nikah, udah biasa ditinggal sama papa. Tapi tetep aja, setiap mau ditinggal papa, ngedrama dulu. Sedangkan kak Dian, mau pergi ke kantor. Dia cuma izin setengah hari.
Tiba di bandara, ternyata papa udah bisa langsung check-in. "Yaudah, Papa langsung masuk aja, ya. Takut antri di bagian imigrasi."
"Iya, Pa. Hati-hati, ya. Jaga kesehatan. Jangan lupa pulang ke Indonesia," ucap gue sambil memeluk papa dengan erat.
"Mana mungkin, Papa lupa pulang. Anak sama istri Papakan ada di sini," jawab papa sambil balas memeluk gue gak kalah eratnya.
"Kali aja, Papa kepincut bule Arab di sana."
Ucapan gue itu sukses mendatangkan tawa dari mulut papa, "Ada-ada aja kamu. Kamu juga jagain Mama. Skripsi tuh diselesaiin." Setelah gue mengangguk, papa pun melepas pelukannya dan beralih ke arah Rifky.
"Rif, jagain anak Om, ya," pesan papa sambil menepuk pelan pundak Rifky. Setelah itu papa pun masuk menuju ruang check-in.
"Udah mau balik?"
"Ayo."
***
"Rif, permintaan aku yang kemarin gimana?" tanya gue begitu mobil Rifky telah meninggalkan area bandara."Yang mana?"
"Yang kemarin itu loh," jawab gue gemas. Ini Rifky cuma pura-pura lupa deh. Pikun beneran, tau rasa dia.
Melihat dia yang masih sok gak ngerti, gue pun kembali memberi clue, "Itu loh, soal gak ketemuan dulu."
"Oh." Oh doang? Nih orang kenapa balik lagi mode kulkas?
"Lagian bosen ketemu kamu mulu." Kali ini Rifky merespon ucapan gue, dia melepas tangan kirinya dari stir mobil lalu mengacak rambut gue. "Nanti kalo gak ketemu, kamu kangen, lagi."
Dih pede banget ini orang, lagian tadi dingin sekarang lebih hangat, jangan-jangan dia kepribadian dispenser pula.
"Dih, gak tuh. Ya, Rif, yayaya!!" pinta gue sambil mengedip-edipkan mata dengan lucunya.
Tapi Rifky malah diam dan fokus ke jalanan. Tuhkan berubah lagi. Lelah hati Dina, bang. Gue pun udah malas membujuk dia dan memilih untuk tidur.
"Din. Din, bangun. Udah nyampe." Tidur gue sepertinya nyenyak banget, sampa gue gak nyadar udah tiba di rumah, kalau gak dibangunin sama Rifky.
"Aku gak mampir dulu, ya. Ada urusan," ucap Rifky saat gue membuka pintu mobil. Gue cuma menggangguk dan segera menutup kembali pintu mobil.
Pas gue udah masuk ke rumah, ponsel gue berbunyi tanda ada pesan masuk.
From: My Rifky 😘
Aku kabulin permintaan km. Tapi ingat jangan terlalu lama berpikir. Aku sayang km.To be continued...
Wah makasih buat 2k vote-nya dan 1k komennya. Gak nyangka bisa sebanyak itu. 😍😍😍
Sengaja aku panjangin, dikit paket banget wkwk.Andieeeeer,
Pinrang, 27 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...