#34

1.8K 143 20
                                    

"Sepi amat, Din?" tanya Dion sambil berjalan dengan pelan menuju sofa cokelat di ruang tamu.

"Emang biasanya gini kale," jawab gue sambil ikut di sofa single di seberang Dion.

"Bokap dah balik?"

"Udah. Udah hampir seminggu."

"Nyokap mana?"

Ini anak nanya mulu deh. Berasa lagi lamaran. Lamaran kerja maksudnya.

"Biasa, arisan." Dion ber-O panjang mendengar jawaban gue. Mungkin mikir mau nanya apa lagi.

"Kalo k—"

Belum selesai ucapan Dion, gue udah memotongnya dengan rentetan pertanyaan. "Apa? Mau nanyain Kak Dian? Rifky? Riri? Gak sekalian nanyain kucing tetangga udah taken apa belum?"

"Ajigile, galak amat, Bu." Bukannya jawab pertanyaan gue, Dion malah ngatain. Sambil ngakak pula.

"Udah puas ketawanya?"

"Belom. Lima menit lagi, Din." Gila emang nih anak, lagi ketawa pake ditargetin kapan selesai. Mana gue gak tahu letak lucunya di mana.

"Nah, udah," ujar Dion pas lima menit setelahnya. Kenapa gue tahu udah lima menit? Soalnya, gue hitungin pake stopwatch di ponsel.

"Jadi jalan gak? Katanya mau traktir?"

"Aku sih oke-oke aja." Gue memplototi Dion saat mendengar jawabannya.

Sepertinya Dion gak mau mati hanya karena plototan gue, makanya dengan segera dia meralat ucapannya, "Iya. Iya, gua sih oke-oke aja. PUAS?" Dion memberi tekanan pada kata terakhir ucapannya. Gue cuma balas dengan cengiran.

"Tapi ... rumahnya gak apa-apa ditinggal?" Gue cuma bisa rolleyes mendengar pertanyaan yang paling gak berbobot yang pernah dilontarkan oleh Dion ini.

Ya, walaupun bisa aja ada sesuatu yang terjadi saat rumah gue tinggal. Tapi gak mungkin juga kan rumahnya gue bawa juga. Lari sendiri aja rumahnya gak bisa, apalagi dibawa. Lagian rumah gue, emang lebih sering kosong daripada ada penghuninya. Apalagi kalau gue udah sibuk kuliah dan mama sibuk dengan squad-nya. Mama guekan termasuk mom jaman now. Katanya mau saingan sama girl squad-nya Nia Ramadhani.

"Kalo kasian, lo bawa tuh rumahnya selama kita pergi makan." Lagi, Dion tertawa mendengar ucapan gue. Sense of humor-nya Dion, receh amat dah.

"Udah ah. Di rumah lu aja. Lagian di luar panas dan gua mager keluar." Gue cuma bisa menatap Dion dengan hopeless. Batal deh, makan gratisan.

"Lagian siapa suruh datangnya siang bolong," cerca gue.

"Tadi pagi gua tidur. Semalam sampe hampir dua jam malam."

"T-tapi, Yon...." Gue menatap Dion dengan puppy eyes, yang kalo menurut gue mirip sama kucing di film Shrek.

Dion menatap gue balik dengan was-was. "Apa?" ujarnya.

"Delivery, ya!"

Dion mendengus, "Dasar gak mau rugi."

"Yaiya, gak ada makanan, Yon. Mama gak sempat masak." Jangan pernah ngarep gue bisa masak, masih pada inget 'kan gimana prestasi memasak gue? Dan sayangnya sampai sekarang belum ada kemajuan. Kecuali, memasak mie instant masuk dalam hitungan.

Dion pun mengangguk pasrah, dia juga udah mengeluarkan ponselnya dari saku celana jin berwarna navy yang digunakannya.

"Pizza aja, Yon, yang kek biasa." Dion gak berkata apa-apa, cuma kembali mengangguk.

"Sekalian minumnya, ya," pinta gue lagi saat Dion menghubungi restoran cepat saji yang menyediakan pizza delivery. Dion sempat memplototi gue, tapi tetep aja memesan minuman seperti permintaan gue.

"Nah, sambil nunggu makanannya datang. Gua mau bicara serius sama lu," ucap Dion sambil menatap gue, serius, seperti kata dia.

Gue mendelik saat melihat tatapan Dion yang gak biasanya. "Apa? Lo gak niat perkosa gue 'kan?"

Tatapan serius Dion kini berubah dengan tatapan geli akan ucapan gue. Dia kembali tertawa dengan gak kerennya. "Haha. Kek gue doyan aja, Din."

Entah kenapa, gue sedikit merasa nyeri dengan ucapan Dion. "Terus doyannya sama siapa? Rangga?"

Dion langsung menghentikan tawanya dan menatap gue tajam. Sumpah gue gak sengaja nyebut nama Rangga. Apa Dion masih gamon (gagal move on), ya?

"Dari siapa lu tau tentang Rangga?"

"Rifky."

To be continued....

Andieeeeer,
Pinrang, 16 November 2017

Pacarku Bukan GAY!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang