Setelah kejadian semalam, untuk kedua kalinya gue mendapati Rifky ada di rumah—tanpa gue undang ataupun ada urusan sama gue. Saat gue ke ruang makan, sudah ada Rifky di sana, duduk sambil menyantap nasi kuning yang mungkin buatan mama.
Sesekali, gue ngelihat dia ngobrol sama papa dan kak Dian yang tumben-tumbennya ada di rumah. Fyi, Kak Dian itu tinggal di flat yang dekat dari kantornya. Harusnya sih dia balik ke rumah tiap weekend, tapi makin lama dia makin malas balik.
"Kok kamu ada di sini?" tanya gue to the point.
Rifky langsung menghentikan suapannya begitu mendengar ucapan gue. Bibir Rifky tampak bergerak, mungkin akan menjawab, namun suara mama yang berada di dapur yang bersatu dengan ruang makan langsung membungkam mulutnya. "Papa! Lihat tuh, anak kamu, gak sopan!"
"Kok anak, Papa?"
"Terus anak Mama, gitu?"
Kok gue berasa dioper kek bola, ya? "Jadi, Dina bukan anak Papa-Mama?"
"Kamu anak Papa, dong Sayang."
"Ya, anak Mamalah," jawab mama dan papa berbarengan. Sekarang aja ngaku anak mereka, tadi gue dioper-oper, potek hati hayati. Gue hanya bisa mengehela napas dan mengelus dada melihat tingkah orang tua gue.
Bukannya prihatin melihat nasib gue, kak Dian malah ngakak dengan gak elitnya. Untung aja mama datang, "Dian, kamu tuh cewek kalau ketawa tuh yang anggun, kek Mama."
Ucapan mama sukses membungkam tawa kak Dian. "Mampus," ucap gue tanpa suara, tapi sepertinya ditangkap dengan baik oleh kak Dian. Lihat saja, bibirnya yang mencebik.
"Oh iya Rif, pertanyaan aku tadi belum dijawab loh!" ucap gue mengingatkan akan pertanyaan yang belum sempat Rifky jawab.
"Aku dipanggil sama Om Bimo, Din."
"Papa?" tanya gue memastikan, yang dijawab Rifky dengan anggukan pasti. "Papa ngapain panggil Rifky pagi-pagi?" Pertanyaan gue beralih ke papa yang kini sedang meminum susu.
"Kepo deh," jawab papa asal begitu susu di gelasnya habis.
"Papa!"
"Papa minta tolong anterin Papa ke kantor." Gue cuma bisa geleng-geleng cantik denger jawaban papa. Padahal di rumah tuh ada mobil dan ada tetangga yang biasa mama daulat jadi supir, atau ngak naik taksi online.
"Tapikan ini hari kerja, Pa. Rifky tuh ker—"
"Aku yang mau kok, Din," potong Rifky. Sejak kemarin, keknya hobi dia motong omongan gue deh. Baru mau lanjut berdebat, bel rumah berbunyi.
"Biar Mama buka pintunya. Dina, kamu makan aja," ucap mama sebagai tanda untuk menghentikan perdebatan di pagi hari ini.
Gue pun baru nyadar, dari tadi gue berdiri. Pantesan berasa pegal. Tak lama, terdengar suara mama mengobrol dengan seseorang.
"Gak ngerepotin kok, Tante." Dari suaranya sih seperti cowok dan keknya familiar di telinga gue.
Saat gue berbalik, muncullah Dion di pintu ruang makan. Di wajahnya, masih ada memar bekas tonjokan Rifky kemarin.
"Dion?"
"Gua bawain dompet, kemarin keknya jatuh di mobil."
Hah? Serius? Ya ampun gue gak nyadar dompet gue jatuh. "Makasih ya, Yon. Sini sarapan bareng," ucap gue tulus. Beruntung banget punya temen yang bersedia direpotin.
Setelah sarapan gue segera pamit, udah dekat waktunya gue janjian sama pembimbing skripsi, "Aku duluan ya, buru-buru."
"Biar aku antar, Din."
"Bukannya kamu mau nganterin Om?" tanya papa yang berarti dia ajakan dia tadi gak akan bisa terealisasi.
"Kalau gitu, biar gua aja yang anter lu, Din," tawar Dion yang segera gue iyain. Entah kenapa saat beranjak dari ruang makan, gue merasa merinding.
To be continued...
Fast update 😂
Andieeeeer
Pinrang, 17 September 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...