Seperti adegan di beberapa cerita yang pernah gue baca atau sinetron yang mama tonton. Begitu kesadaran gue mulai pulih, aroma obat-obatan yang begitu menyengat, kini menginvansi indera penciuman gue.
Saat cahaya mulai mengganti kegelapan, yang pertama gue lihat adalah mama yang sedang duduk di samping kasur sambil kuteks-an. Anjir, mama kok gitu amat, ya. Bukannya panik, anaknya sakit, malah fokus kuteks-an
Tak jauh dari posisi mama, sayup-sayup gue ngedengar temen-temen gue lagi asyik cerita, dan dengan pandangan seadanya gue bisa ngelihat kotak big box pizza hot di meja dan beberapa gelas minuman.
Ini orang yang jagain sangat berketidak-orang-sakitan banget dah. Setidaknya ikutan sakit kek, ini malah pesta. Melihat tingkah mereka buat gue mendengus pelan. Rupanya dengusan gue, masih bisa didengar oleh telinga supersonik mama.
"Dina! Anak Mama, kamu udah hidup?" tanya mama lumayan histeris.
"Siuman, Ma. Dina gak abis mati."
"Oh, iya, itu maksud Mama." Gue rasanya pengen rolleyes sambil nungging dengar ucapan mama.
"Din, kamu tuh, ya, kan udah Mama ingetin buat sarapan. Bandel sih, udah tau kamu maag kronis, masih aja ... Jadi ginikan sekarang? Masuk RS lagi," ucap mama mulai memberi ceramah singkat, yang nyatanya bisa sejam lebih—non stop.
Kalau ini reality show, pasti gue udah lambai-lambai cantik ke kamera atau ngibarin bendera putih, tanda menyerah. Gue udah ngode temen-temen buat nolongin, tapi sepertinya mereka sengaja, pura-pura gak lihat. Sial.
Gak lama pintu kamar gue kebuka, dan muncullah seorang dokter ganteng plus seorang perawat yang berhasil membuat mulut mama bungkam seketika.
"Saya dengar pasien sudah sadar?"
"Iya, Dok. Baru aja." Iya baru aja diomelin ucap gue ngelanjutin jawaban mama.
"Saya periksa dulu, ya." Setelah itu badan gue di-grepe sama si dokter. Eh, maksudnya diperiksa, ditempelin stekostekop atau apalah itu namanya.
"Jadi gimana, Dok?"
"Tidak parah kok, cuma harus jaga pola makannya aja. Jangan biasakan tidak sarapan sebelum beraktifitas," jawab dokter ganteng. Kenapa ya, cowok yang pakai pakaian kerja, gantengnya berkali-lipat. Fokus, Din, fokus.
Gak lama dokter dan susternya pamit keluar, "Kalau gitu, Mama pamit bentar, ya, Sayang. Mama lagi ada arisan. Lagian ada temen-temen kamu 'kan? Ntar Mama, balik lagi temenin kamu."
Gue dengan senang hati, tentu aja ngeizin mama pergi. Bisa makin sakit gue denger ocehan mama yang kadang remnya blong. Maafin Dina, ya, Ma.
"Puas kalian?" tanya gue begitu mama keluar dari ruangan rawat. Dengan segera suara tawa memenuhi ruangan berukuran sekitar tiga kali tiga ini.
"Puas banget, gua lihat lu diomelin sama tante Nita, Din." Kurang ajar emang nih Riri. Yang lain, ikut nge-iyain pula.
"Halah, bicik emang kalian," ucap gue lalu tersenyum melihat mereka. Soalnya gue bisa rasain rasa khawatir, di balik tawa mereka.
Oh, iya gue ngerasa dejavu. Lagi-lagi gue gak ngelihat penampakan Rifky. Perasaan gue mulai gak enak lagi.
"Rifky gak bisa dihubungi. Hapenya mati," ucap Mitha, seakan tahu apa yang gue pikirin.
"Lo tenang aja, ntar gue samperin ke rumahnya." Gue cuma mengangguk tanda mengerti, gue tahu mereka gak pengen gue cemas. Tapi hati dan otak tuh gak bisa diatur, gue gak bisa berhenti mikir 'Rifky di mana?'
To be continue...
Yang stetoskop itu sengaja typo ya wkwk.
Makin gaje. Btw aku ultah loh, gak ada yang minat paketin kado gitu? Wkwk 😂😂😂
Happy reading.
Andieeeeer
Makassar, 3 Agustus 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...