Hari yang dinanti akhirnya tiba juga. Gue dan yang lain—minus Fajar dan Riri—udah rencanain buat datang lebih awal ke venue festival. Selain buat ngehindarin macet dan perjalanan yang emang lumayan jauh, kita juga mesti siapin segala sesuatunya. Seperti kata Fajar, 'tolong buat semuanya perfect ya' dia kek lupa aja pacarnya kek gimana. Jujur, kadang gue masih pesimis sama misi kali ini.
Back to topic, harusnya, iya harusnya kami udah di lokasi sebelum jam sepuluh pagi menjelang siang. Namun naas, malamnya gue keasyikan streaming drama Korea sampai pukul empat subuh. Jadinya gue telat bangun. Gue baru bangun pas Rifky nelpon buat infoin kalau dia udah hampir sampai depan rumah gue.
Gue yang panik, takut buat Rifky pacar kesayangan gue nunggu lama, cuma sempat cuci-cuci badan, sikat gigi plus semprotin parfum sebanyak mungkin. Kalo perlu satu botol penuh parfum gue semprotin.
"Ma, Dina berangkat dulu ya?" pamit gue ke mama yang asyik nonton drama pagi, yang entah udah episode ke ratus berapa.
"Din, kamu gak sarapan dulu, Sayang? Ntar maag kamu kumat lagi. Di meja makan ada nasi goreng kesukaan kamu, tuh.
"Gak ah mah, Rifky udah nungguin di luar. Ntar aku nyuruh dia singgah beli makanan."
"Eh, ada calon mantu Mama? Kok gak disuruh masuk?"
"Dina yang larang, Ma. Soalnya buru-buru. Udah ya, Ma, Dina pergi dulu. Assalamualaikum," pamit gue lagi sambil mencium pipi mama kanan dan kiri.
Tiba di mobil, gue harus menghadapi kenyataan kalau gue lagi-lagi berada di antara Rifky dan Reza. Eh keknya salah. Harusnya, lagi-lagi Reza menjadi setan di antara gue dan Rifky.
"Pagi, Yang. Eh, ntar singgah ke indomarket buat beli roti ya, aku belum sarapan," kata gue begitu duduk di bangku belakang tanpa sedikit pun niat untuk menyapa Reza. Soalnya Reza itu, setan, dan setan itu kasat mata dan harus dihindari.
"Pagi juga. Oke, nanti kamu ingetin aja," jawab Rifky lalu mulai melajukan mobilnya lokasi festival. Gue yang udah sempat ke sana, mutusin untuk singgah di indomarket dekat venue aja.
"Yang, di depan kalo gak salah ada indomarket deh. Singgah di sana bentar ya," ucap gue sambil nunjukin tempat yang gue maksud.
Belum sempat Rifky menjawab, ponsel Reza berdering.
"Halo, Mbak Sil."
...
"Ini udah hampir nyampe, Mbak."
...
"Emang harus sekarang ya, Mbak?"
...
"Yaudah, kurang dari lima menit, Reza bakalan sampe di lokasi."
...
"Iya, Mbak, iya."
Begitu sambungan telepon terputus, Reza langsung natap gue dan bilang, "Din, bisa gak kamu beli makannya di dalam aja?"
"Kenapa?"
"Mbak Sisil nelpon, urgent katanya." Berhubung Reza pakai kata urgent, gue pun gak bisa nolak. Salahkan rasa gak tegaan gue, yang muncul di saat gak tepat.
Tiba, di dalam kami nemuin mbak Sisil yang panik, soalnya MC yang harusnya bawain salah satu talk show tiba-tiba sakit dan sementara gak ada pengganti. Niat mbak Sisil, sebenarnya minta Reza buat gantiin tuh MC, namun entah kenapa Rifky malah nyaranin gue.
"Kenapa gak Dina aja, Mbak? Dina udah sering loh jadi MC di acara kampus."
Mendengar ucapan Rifky, Mbak Sisil seperti abis main panas-panasan terus disiram air dingin. Lega. "Beneran? Kalau gitu aku minta tolong sama kamu aja ya, Din?"
"Eeh? Tapi aku gak tau tentang jepang-jepangan, Mbak?"
"Gapapa, ntar kamu briefing dulu sama tim aku. Lagian udah ada list pertanyaannya kok. Jadi kamu tenang aja. Sisa hafalin dikit."
Gue pun cuma bisa menggangguk pasrah. Lagi-lagi rasa gak enak gue muncul di saat yang gak tepat. Sebenarnya pengen marah, tapi sama siapa? Rifky? Mana tega.
"Yaudah, kamu siap-siap dulu ya, Din. Acaranya mulai tiga puluh menit lagi." Anjir, tiga puluh menit. Terpaksa, acara makan gue ditunda lagi.
To be continued...
Part ini asal banget -_- wkwk. Semoga masih betah baca ya 😘😘😘
Andieeeeer
Makassar, 27 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...