#15

2K 155 12
                                    

"Gimana, Yon?" tanya gue, yang seakan ucapan selamat datang untuk Dion yang baru saja memasuki kamar.

"Orang tuh kalo baru datang, disambut 'selamat datang, udah makan belum?' nah ini langsung to the point," gerutu Dion sambil berjalan menuju kursi kosong di samping tempat tidur.

Gue pun mengeluarkan gaya andalan—memutar bola mata—sambil mendengus, "Cepetan, Diooon!"

"Gak ada."

"Gak ada apanya? Yang jelas deh?"

"Rifky gak ada di rumahnya. Kosong. Gak ada tanda-tanda kehidupan. Masih kurang jelas?"

"Ya ampun, Rifky di mana sih? Doyan amat bikin orang cemas," ucap gue entah ke siapa, sambil meremas dengan gemas selimut rumah sakit.

"Kita cari sama-sama yuk, Yon?"

"Gila, gak lihat tuh tangan masih ada infusnya," jawab Dion sambil menunjuk selang infus yang sejak tadi masih betah menghiasi tangan gue. "Lagian, mana mungkin Tante Nita ijinin lu keluar?"

Bener juga sih kata Dion, tapi gue penasaran. "Ma, Dina udah sembuh. Keluar dari rumah sakit sekarang aja, ya?" pinta gue ke mama yang lagi asyik nonton sinetron sambil maskeran di sofa.

Mama menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi mengipasi wajahnya. Diam, mama cuma ngelihatin gue tanpa ngasih jawaban.

"Mama!"

"Dina udah sembuh, Ma. Nih buktin—" ucapan gue terhenti karena hampir terjatuh saat mencoba untuk turun dari kasur. Untung aja ada Dion yang nahan gue.

"Tuh 'kan? Aww." Mama langsung berlari ke arah kamar mandi. Padahal ucapan yang sepertinya omelan itu belum keluar sepenuhnya.

Lima menit berlalu, mama keluar dengan wajah yang bersih, bebas dari masker yang sebelumnya menghiasi wajahnya. "Tuh gara-gara kamu, masker Mama jadi rusak. Kalau muka Mama ikutan rusak, gimana? Terus Papa kamu nyari madu, gimana?"

Buset deh mama gue. Lagian siapa suruh di rumah sakit, bukannya jagain gue malah asyik maskeran. Tentu, semuanya gue ucapin dalam hati. Bisa dikatain durhaka ntar. Paling parah dicoret dari kartu keluarga. Mama gue bukan penyihir, gak usah bayangin gue dikutuk jadi batu.

"Jadi gimana, Ma? Dina boleh keluar rumah sakit malam ini juga, ya?" tanya gue berusaha mengalihkan arah pembicaraan—baca omelan—mama yang tak berujung.

"Gak bisa. Kalau kamu pingsan lagi, gimana?"

"Ya, bawa ke rumah sakit lagi."

Mama memutar bola matanya, sepertinya itu bakat alami di keluarga gue.

"Iya kalo pingsannya di tempat strategis. Kalo pingsan di tengah jalan gimana? Mau mati dilindas mobil, kamu?" Yang mama bicarain tentang pingsan atau apasih? Kok pakai kata strategis segala?

Gue bisa mendengar tawa tertahan Dion mendengar ucapan mama. Saat akan melotot untuk melarangnya, rupanya mama lebih dulu memelototinya, membuat Dion kicep seketika.

"Udah, gak ada acara keluar hari ini. Lagian kalo masuk RS kurang dari sehari, tuh kurang afdol." Lah, ini lagi mama dapat teori itu dari mana coba?

"Iya, Ma."

"Lagian, kamu mau ngapain keluar cepat?"

"Mau nyariin Rifky, Ma."

Mama ngerutin dahinya, saat mendengar jawaban gue. "Emang ke mana calon mantu Mama?"

"Hilang." Kini kerutan di dahi mama bertambah menjadi sepasang.

"Maksudnya?"

"Gak ada kabar, terakhir dia pamit pergi sama Reza."

"Reza? Yang ganteng itu?" Mama gue, yang cakep aja diinget mulu.

"Iya."

"Mungkin lagi lowbat, gak usah cemas gitulah."

"Iya, Ma." Sebenarnya, pengen banget gue jawab, "Gimana gak cemas, kalo Dina tahu cowok yang sama Rifky itu. Cowok yang suka sama dia?" Namun, urung gue ucapin, gak mau bikin mama curiga.

Abis itu mama kembali duduk di sofa, lanjut nonton sinetron. Sedangkan gue sama Dion diam berjamaah. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana itu berlangsung, sampai akhirnya Riri dan July datang dan menghebohkan suasana.

To be continued...

Sebenarnya gue nemuin hole di chapter kemarin. Bisa-bisanya Dina langsung dapat kamar di rumah sakit. Padahal kalo cuma pingsan mah, biasanya di IGD dulu. Sambil mantau kondisinya. Mau aku ubah, tapi mager dan keburu mood jelek. So, lanjutin aja. Njir jadi curhat wkwk.

Andieeeeer,
Pinrang, 16 Agustus 2017

Pacarku Bukan GAY!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang