Kalau sebelum putus gue pusing gara-gara Rifky yang ngilang, sekarang gue pusing lihat dia yang muncul mulu di rumah.
"Emang kamu gak kerja?" tanya gue entah kesekian kalinya. Sudah empat hari ini dia sarapan dan makan malam di rumah, dengan alasan antar-jemput papa. Entah sejak kapan dia beralih profesi dari anak kantoran jadi supir pribadi keluarga gue.
Lagi-lagi pertanyaan gue cuma dijawab sama senyuman yang efeknya masih sama, buat gue meleleh. Gak kuat dedek, Bang.
"Rifky!!!" Kenapa pada doyan diemin gue sih? Gak Rifky, gak Dion semua diem mulu. Cowok emang sama aja!
"Aku nanya loh Rif? Gak capek apa ditanyain, aku aja yang nanya, capek," ucap gue dengan nada frustasi. Rifky tampak menarik napas, lalu ikut duduk di sofa ruang tengah.
"Kamu tenang aja, ya, aku sama sekali gak keberatan," jawab dia sok bijak. Tapi bagi gue itu gak bijak sama sekali.
"Tapi gue yang keberatan!"
"Berapa kilo?"
"Rifky gue serius!!!"
"Aku dua rius."
"Becandaan lu garing tau gak?"
"Iya tau kok, makanya kamu jangan kebanyakan cemberut. Jadi jelek tau ngak?" ucap Rifky gak nyambung sambil mencubit kedua pipi gue sehingga terbentuk senyuman—terpaksa—pada bibir gue yang seksi ini.
Sumpah gue meleleh kalau diginiin. Tapi di saat yang sama, hati gue kerasa sakit. Kenapa Rifky berubah se-loveable gini, saat kami udah putus. Kenapa harus putus dulu?
"Dan sejak kapan kamu, ngomong gue-lo ke aku?" Pertanyaan Rifky entah kenapa buat gue merasa dejavu sama pertanyaan gue ke Dion beberapa hari yang lalu—saat Dion nganterin gue ke kampus.
"Kamu balikan sama Rifky?" tanya Dion begitu mobilnya melaju dengan kecepatan sedang.
Pertanyaan macam apa itu? Dengan segera gue membalas, "Gaklah."
"Terus?" tanya Dion lagi, sepertinya gak percaya sama ucapan gue.
Gue pun memilih untuk pura-pura gak ngerti sama pertanyaan dia, "Terus apanya?"
"Jalannya. Ya, ngapain Rifky ke rumah kamu, pagi-pagi pula?"
"Ya ... karena .... Eh, kok lo pake kamu-kamu? Kesambet?" Gue baru nyadar ada yang aneh sama cara ngomong Dion. Jadi lebih kalem dan apaan tuh kamu-kamu. So eww.
"Dih, Dion!!!" Kesel gue lihat tuh anak, ditanyain diem aja. Sampai akhirnya gue sampai di kampus, dia masih aja diem. Daripada kesel sendiri, gue milih untuk turun dari mobil Dion tanpa pamit sama dia.
"Din," panggil Rifky buat gue sadar dari lamunan.
"Itu ... keceplosan. Apalagi kita tuh udah pu—"
"Gak, kita belum putus," potong Rifky yang buat gue nge-rolleyes. Doyan amat nih anak, potong omongan gue.
"Plis, Rif. Jangan buat gue pusing dengan semua ini."
"Terserah kamu mau anggap bagaimana. Tapi bagi aku, kita tuh belum putus," ucap Rifky dengan egoisnya. Baru aja gue mau protes, dia kembali berucap, "Aku pamit dulu ya. Bilang ke Tante sama Om, aku ada urusan makanya gak pamit." Rifky sempat mengacak rambut gue, sebelum berjalan menuju ke arah ruang tamu.
Arrgh, kenapa sih pada milih diam saat gue nanya? Bikin pusing aja. Perasaan mikirin skripsi, gak sepusing ini deh.
To be continued....
Entah kenapa feelnya jadi ngilang. Btw senang banget udah sampe 10k reads. Gak nyangka 😭😭😭 Makasih banget buat kalian yang setia baca cerita gaje ini 😘😘😘
Andieeeeer
Pinrang, 23 September 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...