Atas rekomendasi dari Reza, kami memilih untuk makan di salah satu warung makan yang masih di kawasan yang sama dengan kantor EO mbak Sisil.
Kami pun memilih untuk berjalan kaki saja, sebab proses parkir-memarkir akan menyita banyak waktu padahal hanya berjarak dua atau tiga blok ruko saja.
Pernah jalan bertiga sama temen kamu yang pacaran? Gimana rasanya? Berasa jadi nyamuk pengganggu atau makhluk kasat mata yang tak dianggap keberadaannya? Beri ucapan selamat ke gue. Soalnya itu yang kali ini, gue rasain.
Reza dan Dion asyik jalan sambil bercerita entah apa, sedangkan gue yang mungil dan berlangkah kecil, harus tertinggal di belakang. Samar-samar gue bisa dengar beberapa ucapan orang yang berpapasan dengan kami.
"Ganteng." Iya ganteng, sayang maho.
"Mau dong punya pacar, kek mereka." Dream on, sadarlah kak. Kalau tahu kenyataannya mungkin kalian akan ilfeel, kecuali kalau kalian setipe dengan Riri.
"Kyaaa. Aku yakin mereka couple. Kyaaa. Akhirnya bisa lihat couple yaoi real." Gue yakin yang ngomong ini pasti masuk dalam golongan manusia yang otaknya bergeser lima derajat. Kalau kata Riri sih namanya fujoshi. Sempat gue lihat tuh cewek megang hidungnya, keknya mimisan deh panas-panasan kek gini.
Bahkan ada yang ngomong kek gini, "Ih ganteng, mau dong digodain." Malah yang ngomong kek gitu, bukan cuma cewek tapi cowok juga. Wth.
Perjalanan yang sebenarnya cuma sekitar lima menit, menjadi penuh sensasi. Kami tiba di warung makan yang dimaksud oleh Reza, gak ada yang bisa gue komentarin selain ini emang warung makan dan lumayan rame. Hampir setiap meja yang tersedia, dihuni oleh makhluk hidup, bukan hewan apalagi makhluk kasat mata.
"Anjay mahal banget," pekik gue setelah membaca menu. Bayangin mie ayam aja harganya di atas 50ribu, padahal ini cuma warung makan biasa, bukan restoran mewah ataupun hotel bintang lima. Eh kalau hotel gak segitu ya? Bodo' ah.
Gue baru nyadar mas yang membawa menu tadi masih berdiri dan natap gue dengan pandangan yang gak bisa gue artiin. Antara ngatain gue miskin, salut akan kejujuran gue, atau malah sebal tempat kerjanya gue katain mahal. Tapi itu sih fakta, emang mahal kok.
"Gila ya Rez, lo kalo ngajakin makan ke tempat yang ramah terhadap dompet dong, untung gue bawa dompet dan ada isinya," ucap gue begitu selesai memesan makanan mas tadi mulai meninggalkan meja kami.
"Ya mana gue tahu, kemampuan dompet lu berapa. Segini sih lumayan legang di dompet gue." Anjir songong banget nih orang, pengen rasanya ngelempar ponsel gue ke kepalanya. Tapi gak jadi. Sayang. Sayang sama ponselnya. Masih baru nih.
"Udah deh kalian, jangan mulai nyari masalah lagi," ucap Dion menengahi perang yang baru saja akan mulai tercetus.
Gue pun milih untuk diam dan duduk manis sambil menunggu pesanan kami datang. Kalau ada yang bilang makanan itu berbanding lurus sama harganya, semakin mahal, semakin enak. Hal ini gak berlaku di warung ini. Sumpah gue nyesel ke sini, masih enakan mie ayam mas Eko yang sering lewat di depan rumah. Cuma sepuluh ribu, banyak dan enak. Kalau yang ini? Amit-amit dah.
Baru aja mau memaki Reza, gue mendapati kemunculan batang hidung, kepala, badan, tangan dan kaki milik Rifky.
"Rifky?" tanya gue kurang percaya.
"Hm."
"Kamu ngapain di sini, Yang?"
"Nyusul kalianlah."
"Tahu dari mana kami di sini?"
"Reza, dia tadi dia nge-chat. Ngasih kabar."
"Kok gak nanya ke aku aja?"
"Emang ada bedanya, ya?"
"Akukan pacar kamu!"
"Terus?"
"Auah gelap."
"Terang gini kok."
Fix Rifky peak, gak peka, nyebelin, malesin. Kenapa gue bisa cinta sama dia ya?
To be continue...
Makin gaje, makin gak jelas. Mohon dimaklumi.
Andieeeeer
Pinrang, 16 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...