Setelah memastikan Rifky duduk dengan baik dan nyaman. Gue langsung narik napas panjang untuk nenangin diri. Keputusan yang bakalan gue ambil ini, mungkin bakalan jadi salah satu hal yang paling gue sesali.
Tapi gue gak mau egois. Biarlah gue menyesal, setidaknya gue udah mulai memperbaiki semuanya dari awal. Bukan menyesal di akhir dan udah gak ada jalan untuk kembali. Subhanallah, gue bijak banget jadi manusia jaman now.
"Aku udah tahu jawabannya. Dan aku pengen kita ... temenan aja." Sumpah dua kata terakhir, sangat sulit untuk gue ucapin. Seperti ada batu yang menjanggal di tenggorokan gue. Tentunya bukan batu beneran. Yakali.
"Kenapa? Kenapa kamu gak mau ngasih aku kesempatan kedua, Din? Apa kamu udah gak cinta lagi?"
Narik napas ... hembuskan. Itu yang berulang kali gue lakuin. Gue harus tenang dan gak boleh emosi. "Cinta. Aku masih cinta sama kamu, Rif. Tapiii—"
"Kalo masih cinta, kenapa kamu gak mau balikan lagi, Din?" Kebiasaan Rifky buat motong ucapan gue sepertinya belum hilang-hilang juga.
"Dengerin dulu sampai aku selesai, Rif!"
"Oh. Oke." Rifky menyamankan posisi duduknya dengan bersandar pada sandaran kursi yang dia duduki.
"Tapi ... sekarang di hati aku tuh gak cuma kamu. Ada orang lain, yang tanpa aku sadari udah mengambil setengah dari posisi kamu di hati aku." Kami sama-sama diam, suasananya tiba-tiba terasa canggung. Seakan gue baru saja membangun tembok pembatas di antara kami.
"Kamu gak usah minta maaf," ucap gue tiba-tiba dengan pedenya. Padahal dari tadi Rifky cuma diem. Sampai sekarang aja dia belum ada tanda-tanda mau ngomong sesuatu.
Udah kepalang malu, jadi gue lanjut aja ngomong, "Karena aku yang salah. Di saat aku dengan egoisnya nuduh kamu yang iya-iya sama Reza dan siapa pun itu. Aku malah ngebiarin orang lain masuk ke hati aku."
"Siapa?" Akhirnya Rifky ngerespon juga, sempat gue kirain dia tiba-tiba berubah jadi batu saking syoknya. Iya, gue kepedean. Gak usah bilang.
Duh Rifky sekalinya ngomong nanya siapa pula. Kalo aku bilang 'Dion' marah gak, ya?
"Dina, siapa orangnya?" tanya Rifky, lagi. Kali ini dia menaikkan suaranya, mungkin satu oktaf lebih tinggi. Tapi sebenarnya gue gak ngerti juga sih naik satu oktaf tuh kek gimana.
"Dion, ya?" tebak Rifky dengan benar sekaligus menghentikan pikiran asal gue yang selalu saja datang di waktu yang tidak tepat.
"Kamu diam, Din. Itu artinya benerkan tebakanku? Jadi bener 'kan? Selama ini kalian ada affair?"
Emosi gue langsung tersulut mendengar tuduhan Rifky. "Iya bener, dia emang Dion. Tapi demi Tuhan, aku aja baru nyadar perasaan aku ke dia. Dan yang terpenting, aku gak semunafik itu, ya, Rif!" Kalimat terakhir gue ucapin sambil nunjuk-nunjuk Rifky. Untung aja kami duduk agak jauhan, bisa-bisa gue nyolok mata dia saking gemasnya. Eh, emosinya.
"Kamu pikir aku asal nuduh aja? Aku tuh gak buta, Din! Aku bisa lihat perasaan kamu hanya dengan cara kamu natap Dion!" Emang iya, ya? Kok gue gak nyadar.
"Oke, Rif, kalo emang itu tuduhan kamu. Bukannya aku udah bilang aku yang salah? Tapi ... apa kamu gak pernah mikir kenapa perasaan aku itu bisa berubah?"
To be continued....
Part drama lagi 😅
Semoga gak bosan ya baca kisah Dina 😘Andieeeeer
Pinrang, 10 Desember 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...