Saat membuka pintu rumah, gue menangkap pemandangan yang gak disangka-sangka. Ada Rifky di sana, dan juga ... papa, lagi ngobrol dengan akrabnya. Emang sih mereka beberapa kali ketemu, tapi ngapain coba Rifky ke rumah dan kok bisa, papa ada di rumah?
"Papa?" tanya gue memastikan. Bukannya gak yakin sama papa sendiri. Cuma setahu gue, ini bukan waktunya papa untuk pulang.
"Iya, kenapa, Din?"
"Ini beneran Papa?"
"Kamu pikir Papa hantu? Dasar anak kundang." Setelah mendengar ucapan penuh cinta dari papa, gue pun segera menyamankan diri dalam pelukan beliau.
"Kok udah pulang, Pa?"
"Kenapa? Gak senang Papa pulang?"
"Senang dong. Kepo aja sih, kan tumben." Papa tuh kerjanya di perusahaan minyak di Dubai sana. Pulangnya tiap dua bulan, dan seingat gue Papa perginya belum genap sebulan deh.
"Papa, ada kerjaan, Sayang," jawab Papa sambil mengelus rambut gue.
"Ada oleh-oleh gak, Pa?"
"Ada dong. Tuh, di dalam. Ada makanan pesawat." Gue cuma bisa mengelus dada mendengar jawaban papa. Percuma banget kerja jauh, ninggalin anak-istri, pulangnya cuma bisa bawa makanan, sisa di pesawat pula.
"Dih, pelit amat."
"Udah untung, Papa bawain." Iyasih. Tapi gak makanan pesawat juga kali! Tentu aja kalimat tadi cuma berakhir dalam hati saja. Bisa-bisa uang jajan gue dipotong atau dikutuk jadi cantik. Eh, kalau itu sih gue mau.
"Iya deh, makasih Papaku sayang. Dina, kangen banget sama Papa."
"Ehm." Acara manja-manjaan gue harus terpotong oleh suara dehaman yang gak tahu suasana.
Dengan segera gue memelototi Rifky yang sebenarnya sengaja gak gue anggap ada. Mantankan gitu, sejenis makhluk halus. Lagian gue masih kesal dengan ulah dia nonjok Dion.
"Eh ada Rifky, ngapain?" tanya gue seolah baru melihat keberadaan dia.
"Kok gak sopan gitu." Lah, lain yang diajak ngobrol, lain yang respon. Papa sih gak tahu situasi. Gak tahu apa, hati anaknya baru aja disakitin sama cowok yang duduk sambil senyum di sofa sana. Mana senyumnya bisa bikin meleleh pula. Tuhkan, kadar move on gue bisa turun drastis gara-gara senyum doang. Murahan banget dah.
"Tadi tuh, yang jemput Papa di bandara, ya, Nak Rifky," ucap papa, lagi. Perasaan baru tadi ketemu di kafe, udah jemput papa aja. Gue aja, cuma dari kafe ke rumah, baru nyampe.
"Kok gak naik taksi aja, Pa?"
"Tega kamu!" seru papa, pura-pura terluka akan ucapan gue.
"Bukan gitu, tapikan ... daripada ngerepotin orang la—"
"Aku gak ngerasa direpotin, kok," potong Rifky.
"Kalian berantem ya?"
"Kita tuh udah p—"
"Om, gak istirahat? Pasti jetlag, abis perjalanan jauh," potong Rifky—lagi—mengalihkan pembicaraan. Gue cuma bisa memutar bola mata dengernya.
"Lagian, ada yang mau aku bicarain sama Dina, Om."
"Ah anak zaman sekarang, maunya berduaan mulu," goda papa lalu mulai beranjak dari sofa. "Yaudah, Om masuk dulu, ya."
Setelah memastikan papa udah masuk, gue dengan segera menarik tangan Rifky menuju teras. "Maksud kamu apaan sih?" tuding gue.
"Kan kita belum putus," jawab Rifky sepertinya mengerti apa yang aku maksud. Tumben peka. "Setidaknya, aku belum iyain."
Gue cuma bisa mengap-mengap, karena takjup akan ucapan Rifky. Apa maksudnya coba?
To be continued...
Maaf, telat dari janji update-nya. Abis berduka, pas hari keempat kemarin (waktunya update) Papiku meninggal 😭😭😭
Semoga masih betah baca, ya 😊
Andieeeeer
Pinrang, 15 September 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...