#20

2.2K 192 70
                                    

"Rifky?" ucap gue dan Dion hampir bersamaan.

Bukannya say hello atau apa, Rifky malah menghadiahi Dion sebuah bogem mentah di wajahnya. Kejadiannya cepat banget, kepalan tangan Rifky yang datang tiba-tiba itu, membuat Dion yang tidak siap tumbang seketika.

Gue hanya mampu meringis, saat melihat darah yang mulai keluar dari tepi bibir Dion. Pasti sakit banget. Untung bukan gue yang kena.

"Rifky, apa-apaan sih kamu?" tanya gue dengan emosi. Gimana gak emosi lihat mantan, mukul sahabatnya sendiri?

"Bener 'kan?" Hah? Benar apanya? Rifky otaknya geser nih. Tiba-tiba mukul orang, terus nanya benar-benar. Benar tindakan dia yang mukul, Dion?

"Bener 'kan kamu suka sama Dina?" Oh, dia ngira Dion suka sama Dina. Eh? Dina? Bukannya Dina itu gue?

"Omong kosong macem apa itu? Demi Dewa, Dion itu sahabat kamu! Dan kamu tau sendiri 'kan Dion itu—"

"Gay," potong Rifky dengan cepat.

"Nah tuh tau, terus kenapa kamu masih nuduh dia?"

Rifky gak langsung menjawab pertanyaan gue. Dia cuma ngelihatin gue, tanpa kata.

"Lagi-lagi kamu diam," ucap gue jengah. Selalu saja seperti ini.

"Setiap aku nanya kenapa, kamu cuma diam. Bahkan saat kita putus pun kamu cuma diam. Aku bukan peramal, Ki. Aku gak bisa ngerti, kalau kamu cuma diam.

"Terus sekarang kamu datang, main nonjok, dan nuduh ini itu. Sahabat kamu sendiri?" Sepertinya Rifky mau menyela ucapan gue, namun dia kek nahan dirinya. Gue benar-benar hopeless ngelihat Rifky, di depan gue dia selalu aja nahan diri, seakan gak percaya sama gue.

"Kamu tau, Dion malah nanya gue nyesel atau gak sama—"

"Din. Sst aww," ucapan gue terpotong oleh suara ringisan dari Dion. Gue pun mengalihkan pandangan ke arah Dion, yang ternyata dari tadi masih betah ngelantai. Tadi bukannya langsung nolongin dia, gue malah marah-marah ke Rifky dulu.

"Sakit, ya?" Pertanyaan gue cuma Dion jawab dengan desisan sakit. Mungkin kalau bukan dia yang ditonjok, Dion pasti bakalan jawab, "What the ... dia udah terkapar dan berdarah kek gini, masih lu tanya sakit apa kagak? Otak lu disimpan di mana?" Untuk sesaat gue bersyukur, Dion kesakitan.

Gue bisa rasain, tatapan Rifky yang enggan berpaling dari gue dan Dion. "Daripada kamu ngelihatin kami mulu, kenapa kamu gak bantu aku, mapah Dion sampai ke mobil?" pinta gue ke Rifky, setelah gak berhasil bantu Dion untuk berdiri.

Rifky pun dengan ogah-ogahan, mendekat dan membantu gue untuk memapah Dion ke mobilnya. Setelah Dion berhasil duduk di kursi penumpang. Rifky tiba-tiba menadahkan tangannya di depan gue. Gue yang gak ngerti maksudnya apa, cuma bisa pasang tampang tak mengerti.

"Kunci. Biar gue—"

"Gak usah, biar gue yang bawa," potong gue begitu mengerti maksud Rifky. Gini-gini gue bisa nyetir mobil kok, cuma gitu gue kadang malas bawa kendaraan kalau bukan punya sendiri. Kalau sampai lecet 'kan gue yang pusing sendiri.

"Kamu mending pulang, terus mikirin apa yang kamu lakuin tadi." Setelah itu gue segera ngacir ke mobil. Rifky cukup lama berdiri natapin gue dari luar mobil. Setelah dia pergi entah kenapa air mata gue malah keluar dengan derasnya.

"Maaf. Maafin gue, Yon."

"Sstt, udah gapapa. Sstt," ucap Dion diselingi dengan ringisan. Setelah puas nangis, gue lap air mata terus natap tepat di mata Dion yang sedari tadi natap gue, khawatir.

"Yon, kenapa sih gue sukanya sama Rifky. Bukan ke lo aja."

To be continued...

Andieeeeer,
Pinrang, 2 September 2017

Pacarku Bukan GAY!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang