"Oke, Rif, kalo emang itu tuduhan kamu. Bukannya aku udah bilang aku yang salah? Tapi ... apa kamu gak pernah mikir kenapa perasaan aku itu bisa berubah?" tanya gue Sebenarnya gue gak ada niat buat mojokin dia. Salah sendiri nuduh-nuduh yang iya-iya. Eh? Yang gak-gak.
Yang gak gue sangka adalah Rifky sepertinya benar-benar merasa tersinggung akan ucapan gue tadi. Rifky yang gue kenal tenang entah menghilang ke mana. Kedua netranya menyiratkan amarah yang membara.
Sekarang malah gue yang merasa terintimidasi akan tatapan Rifky. Kalau bisa nih, gua pengen segera kabur ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Akan tetapi, pasti sangat tidak sopan dan tidak menyelesaikan masalah.
Untuk sekian menit—yang terasa bagaikan ratusan tahun—gue sama Rifky hanya saling melempar tatapan maut. Gue curiga abis ini tiba-tiba rambut gue memutih, terus kulit gue mulai mengeriput. Omg, otak gue.
Sepertinya Rifky capek sendiri dengan aksi tatap-menatap yang akhirnya berujung. Sekarang dia lebih memilih menatap lantai yang gak tau bagusnya di mana.
"Hahaha." Rifky tertawa secara tiba-tiba. Namun, entah mengapa gua lebih ngerasa itu ungkapan rasa sakit.
"Iya aku salah, Din. Aku dengan bodohnya minta Dion buat selalu bantuin kamu. Kamu tau sendirikan gimana kerjaan aku dulu, gimana? Aku gak bisa selalu ada buat kamu. Seenggaknya Dion orang yang gua percaya dan harap gak bakalan khianatin aku.
"Soal Reza juga, bukannya dari awal hubungan kita, aku dah minta kamu janji bakalan percaya kalau aku gak tertarik sama sekali sama cowok? Tapi sepertinya kamu lebih percaya perkataan orang lain. Dari awal kamu gak pernah coba untuk tepatin janji itu. Maaf aku baru sadar sekarang."
Semua ucapan Rifky seakan sebuah tamparan keras bagi gue. Ini kali ya yang dinamakan sakit tapi tak berdarah. Semua alasan-alasan yang gue siapin seakan menjadi bumerang bagi diri gue sendiri.
Gue yang awalnya maksain hubungan ini. Gue yang lupa dengan janji kami. Gua yang terlalu percaya dengan pemikiran absurd Riri dan gosip-gosip yang beredar. Gue yang memilih curiga daripada percaya sama Rifky.
Mungkin ini kali, ya, yang membuat keluarga gue percaya banget sama Rifky, bahkan papa juga. Padahal beliau baru beberapa kali bertemu dengan Rifky, tetapi mereka sudah seperti ayah dan anak.
"Din," panggil Rifky yang membuyarkan segala pikiran gue. "Maaf ya, tadi aku emosi. Aku bakalan coba buat mengerti alasan kamu. Terima kasih untuk selama ini. Aku pamit dulu."
Keknya otak gue mengalami kerusakan, gue perlu waktu lama buat merespon segala ucapan Rifky. Saat gue siap buat membalas ucapan dia, yang gue dapetin hanya teras rumah gue yang kosong. Sudah gak ada Rifky di sana. Rifky seakan ninja yang mampu menghilang secara tiba-tiba.
Kenapa jadi seperti ini sih?
"Din, kamu kenapa kek patung di depan pintu?" tanya mama yang muncul tiba-tiba. Kenapa pada berubah jadi ninja sih? Datang dan pergi secara tiba-tiba.
"Eh, Mama. Kapan nyampe?" Bukan jawaban yang gue dapat melainkan tas yang sukses menghantam tangan kiri gue.
"Mama tuh udah hampir sepuluh menit di sini. Mama udah hampir manggilin ustaz buat ngerukiyah kamu."
"Mama!" jerit gue, punya nyokap kok gini amat, ya. Akan tetapi, gue juga bersyukur, seenggaknya mama berhasil mengalihkan sedikit pikiran gue.
To be continue....
Ya, Allah. Akhirnya berhasil nulis lagi, lanjutin cerita ini lagi. Makasih banyak buat kalian yang udah membaca cerita ini, ninggalin jejak vote dan komen yang cukup memotivasi aku buat lanjut nulis. Masih ada yang bacakan, cerita absurd ini?
Terima kasih juga buat temen-temen yang selalu nanyain kapan update 😭😭😭
Maaf pendek, ya. Tapi aku usahain buat lanjut nulis cerita ini. Maaf juga kalo gaya nulisnya agak beda. Kaku banget, lama gak nulis 😭
Andieeeeer
Pinrang, 7 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...