"Oh iya, soal kamu resign gimana? Bukannya ngajuin resign itu harus satu bulan sebelumnya, ya?" tanya gue begitu teringat akan alasan terbongkarnya semua rahasia Rifky.
"Iya," jawabnya singkat, sambil mengangguk-angguk.
"Bukannya itu berarti kamu ngajuin resign saat kita masih pacaran? Kenapa aku gak tau?" tanya gue lagi.
Sebelum menjawab Rifky mendesah pelan, "Karena menurut aku, kamu gak perlu tahu."
"Tuhkan, segak penting itu ya aku," tuding gue ke Rifky sambil memanyunkan bibir.
Tak lama gue rasain sakit di bibir gue, ternyata Rifky mencubitnya dengan pelan. Ekspresi gemas yang tak pernah gue lihat sebelumnya, menghiasi wajahnya.
"Tuhkan, otak kamu tuh mikir negatif mulu." Setelah melepaskan cubitannya Rifky lalu menyentil pelan kepala gue sambil melanjutkan ucapannya.
"Aku bukannya gak percaya. Cuma, aku gak pengen bebanin kamu dengan urusan pekerjaan aku."
"T-tapikan—"
"Oke aku salah. Aku minta maaf. Gak bakalan aku ulangi lagi." Rifky memotong ucapan gue. Sepertinya dia paham, apa pun yang dia ucapkan bakalan mendapat bantahan. Hal ini, entah kenapa justru membuatku merasa senang.
"Oh ya, waktu itu ngapain kamu ke kafe aku?"
"Hah? Yang mana?" tanya gue balik, emangnya dia punya kafe? Satu lagi rahasia Rifky yang kebongkar malam ini.
"Waktu aku nonjok Dion ituloh," ucap Rifky mengingatkan.
"Itu kafe kamu? Eh, iya kenapa kamu tonjok Dion?" Jawaban Rifky membuat gue mengingat salah satu hal yang belum gue tahu alasannya.
"Hmm." Rifky bergumam sepertinya tidak mau menyebutkan alasannya.
"Ayolah, Rif," bujuk gue dengan puppy eyes yang biasanya mempan membuat orang terdekat gue, gak bakalan menolak setiap permintaan gue.
"Akucemburu," ucap Rifky dengan cepat dan pelan. Saking pelannya, gue bahkan gak bisa dengar dengan jelas ucapan dia.
"Hah? Apa?"
"Gak ada pengulangan," jawab Rifky sambil tersenyum jahil.
"Dih pelit." Gue pun menggerutu kesal karena tidak mendapat jawaban jelas. Ini efek telinga gue yang rada budek atau emang Rifky sengaja kecilin suara dia sih?
"Hahaha." Rifky tertawa lepas mendengar gerutuan gue. Tawa ini juga baru pertama kalinya gue lihat. Sukses membuat gue terpana untuk kesekian kalinya akan pesona Rifky.
"Kamu ganteng kalau ketawa kek gitu," ucap gue tanpa sadar, membuat Rifky menghentikan tawanya dan menggantinya dengan senyuman.
"Aku tahu kok."
"Dih, pede!"
"Tapi bener 'kan?" godanya.
"Iyasih." Jawaban gue lagi-lagi menghasilkan tawa di bibirnya.
"Tuhan, hambamu yang lemah ini baru aja minta buat gak ketemu dia dulu. Kalo dia sweet kek gini mah, aku gak bakalan mampu," jerit gue tentu aja dalam hati.
Setelah puas bercanda, mengeluarkan tangis dan unek-unek di hati, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sepanjang jalan menuju rumah, entah mengapa gue merasa damai banget. Padahal kami cuma diem-dieman.
Ini pertama kalinya gue ngerasain hal seperti ini, ketika berjalan di samping Rifky. Mungkin karena udah gak ada yang mengganjal di pikirang gue, kali ya.
"Udah malam, aku langsung balik aja. Salam buat Om dan Tante," ucap Rifky begitu kami tiba di depan gerbang rumah. Gue pun mengangguk sebagai jawaban dan melemparkan senyum ke dia. Setelah itu, Rifky pun berjalan menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan.
Begitu mobil Rifky tampak menghilang di perempatan jalan, gue pun memilih masuk ke dalam rumah.
Malam ini menjadi sejarah dalam hubungan gue dan Rifky. Baru kali ini kami benar-benar lepas mengeluarkan segala yang mengganjal di hati.
"Semoga mulai sekarang, semuanya bakalan lebih baik," doa gue sebelum tidur malam itu.
To be continued...
Suka gak? ☺️☺️☺️
Andieeeeer,
Pinrang, 25 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...