Salah satu masalah terbesar gue adalah sering gugup di saat yang tidak tepat. Seperti sekarang. Tangan dan kaki gue udah basah dengan keringat, otak gue rasanya blank dan gak mau bekerja. Padahal kurang dari sejam lagi gue mesti masuk ke ruang sidang untuk mempresentasikan hasil skripsi gue.
Ya Tuhan, pasti malu-maluin banget kalo gue blank pas di dalem. Jangan sampai gue disuruh ngulang.
"Tenang, Din. Papa yakin kamu bisa," ucap papa dari seberang sana. Ya, gue lagi teleponan sama papa, dalam kondisi ini cuma papa satu-satunya orang yang gue rasa bisa nenangin gue.
"Maafin Papa, ya, gak bisa nemenin Dina di saat penting seperti ini?" ucap papa lagi dengan nada penyesalan. Sumpah gue yang dengernya malah pengen mewek.
"Gapapa kok, Pa. Dengerin suara Papa aja udah cukup kok," jawab gue sungguh-sungguh.
"Wah anak Papa udah gede rupanya, jawabannya udah bijak gi—"
Gue gak bisa lagi denger apa yang papa ucapin karena fokus gue yang kini beralih ke seseorang yang baru saja masuk melalui pintu ruang jurusan.
"Pa, udah dulu, ya. Dina ada perlu," ucap gue mengakhiri sambungan telepon papa.
Kaos hitam lengan panjang dan celana bahan abu-abu yang dia gunakan sangat pas di tubuhnya. Apalagi dengan senyuman yang tak luput dari wajahnya. Sepertinya gue jatuh lagi dalam pesona orang ini.
"R—Rif–" Namanya yang sudah diujung lidah, lenyap begitu saja ketika dia berjalan melewati gue, seakan gue gak ada di hadapannya.
Sakit, coy!
"Maaf, Bu, saya bawain buah untuk catering yang ketinggalan," ucap Rifky pada bu Silfi—staf jurusan.
Nah loh? Rifky berhenti kerja dan sekarang jadi karyawan tempat catering? Kok jauh banget jatuhnya?
"Oh iya, makasih ya, Dek. Jadi ngerepotin gini."
Rifki pun menyerahkan dua kantongan kresek yang sebelumnya luput dari pengamatan gue.
"Gapapa kok, Bu. Justru kami yang minta maaf."
"Yaudah. Ibu bawa buahnya ke pantri dulu, ya."
"Iya, Bu silakan."
Gue tanpa sadar udah seperti penguntit yang mencoba untuk mendengarkan percakapan Rifky dan bu Silfi. Sampai Rifky membalik tubuhnya dan pandangan kami bertemu.
"Dina!" panggil Rifky lebih dahulu. Gue sangat bersyukur akan hal ini. Kirain dia bakalan pura-pura gak kenal, lagi.
Gue tersenyum agak sedikit kaku dan balik menyapanya, "Hai, Rif."
"Wah udah mau sidang, ya. Selamat, Din." Gue bisa merasakan kesungguhan dalam ucapan dia.
Baru aja mau membalas ucapan Rifky. Namun, lagi-lagi ucapan gue mesti kepotong gara-gara seseorang menepuk pelan pundak gue.
"Dina, masuk ke ruang sidang B, sekarang. Siapin presentasi dan copy-an skripsi kamu." Tanpa harus berbalik, gue udah tahu itu adalah pak Slamet—staf jurusan yang menjadi rekan duet bu Silfi—suara cemprengnya yang khas tidak ada yang bisa menandingi.
"Siap. Makasih infonya, Pak," jawab gue sambil bersiap untuk mengambil laptop dan naskah cetak skripsi gue di kursi tunggu jurusan.
"Eh, Rif, aku masuk dulu, ya. Betewe makasih ucapannya," ucap gue lalu pergi meninggalkan Rifky.
"Din!" panggil Rifky saat gue akan memasuki ruang sidang. Melihat gue berhenti dan berbalik, Rifky kembali berbicar, "Kamu pasti bisa. Semangat," ucapnya dengan suara agak lantang, sambil mengangkat salah satu tangannya yang membentuk kepalan sebagai tanda semangat.
Gue tersenyum bahagia mendengar ucapan Rifky. Dengan mantap gue memasuki ruang sidang dan rasa gugup gue entah hilang ke mana.
***
To be continue....
Eh btw, aku udah pernah tulis nama lengkap Dina gak sih? Kok aku lupa, ya. Mau baca ulang malah takut pengen revisi ceritanya wkwk.
Dijawab, ya. Bagi yang ingat.
Makasih.
Andieeeeer
Pinrang, 15 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...