"Jadi gitu, aku gak pernah nolak cowok yang dekatin aku karena kematian Rangga tadi. Aku gak pengen mereka merasa ditolak keberadaannya dan lakuin sesuatu yang bisa mencelakai diri mereka sendiri."
"Terus hubungannya dengan Reza apa? Kenapa dia seakan mendapat perlakuan spesial dari kamu?" tanya gue setelah beberapa menit hanya menjadi pendengar setia.
"Ini." Rifky mengambil dompet dari saku belakang celananya, lalu mengeluarkan sebuah foto. "Ini alasan aku, bilang Reza mengingatkan aku sama Rangga."
Di foto yang Rifky perlihatkan ada seorang remaja laki-laki dengan seragam putih-biru, sedang tersenyum ke arah kamera. Harus gue akuin, cowok di foto itu—Rangga— emang mirip sama Reza. Hanya saja Rangga terlihat lebih muda dan sedikit cantik. Seandainya Rangga seorang cewek, mungkin adalah Reza versi cewek.
"Sekarang kamu ngerti 'kan, Din?" tanya Rifky setelah memasukkan kembali foto Rangga ke dalam dompet.
Gue mengembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Rifky, "Aku bisa ngerti, tentang Reza dan alasan kamu gak menolak kalau ada cowok 'gay' yang deketin. Ya, itu mungkin salah bentuk penyesalan kamu ke Rangga. Tapi ... aku gak ngerti kenapa kamu gak cerita ini dari awal.
Mungkin kamu belum percaya sama aku, itu masalah pribadi dan lumayan sensitif. Tapi ... bisakan kamu ngasih aku pengertian, biar aku mengerti—"
"Akukan udah berkali-kali bilang buat percaya sama aku, Din."
"Dengan semua alasan-alasan gak jelas kamu? Cari relasilah, gak enaklah, atau apalah-apalah. Itu yang kamu maksud penjelasan?"
Rifky menunduk dan gak menjawab pertanyaan gue, "Awalnya, aku juga udah coba mengerti dengan semua alasan kamu itu. Tapi dengan mereka—cowok gay—yang selalu ada hampir setiap kita ketemu. Kamu harap aku mengerti?"
"Tapi ini gak mudah buat aku untuk cerita, semua ini, Din."
"Sampai kapan, kamu mau diam aja? Sampai kita putus terus aku ngancem kamu, kayak sekarang? Kalau gak gitu, kamu bakalan biarin aku terus menduga-duga. Padahal aku cuma pengen alasan, bukan cerita lengkap dari kamu."
Rifky tampak ingin mengucapkan sesuatu, namun gue dengan lincah memotong ucapan yang mungkin bakalan dia ucapin, "Tau gak sih, Rif, alasan kita putus sepeleh banget. Kamu yang belum percaya sama aku dan aku yang udah capek dengan sikap yang gak percaya kamu itu. Aku emang cinta sama kamu, tapi rasa sakit aku lebih gede, Rif." Entah sejak kapan gue kembali menetes di hadapan Rifky. Cinta gue ke Rifky, selalu berhasil buat gue merasa lemah.
"Maaf, Din. Aku gak tahu harus ngomong apalagi selain maaf. Maafin aku dengan sifatku yang justru buat kamu sakit." Rifky dengan kedua tangannya menghapus air mata yang mulai merambat ke pipi. Bukannya berhenti nangis, gue malah semakin kenceng nangisnya. Hingga akhirnya Rifky membawa gue ke dalam pelukannya, diam antara keheningan taman.
Kami tetap diam dan saling memeluk, sampai akhirnya gue nangis.
"Udah puas, nangisnya?" tanya Rifky sambil melonggarkan pelukannya, agar dia bisa ngelihat wajah gue, yang gue yakin jelek banget.
Gue yang malu sendiri atas sikap gue, akhirnya cuma bisa menjawab pertanyaan Rifky dengan anggukan.
"So ... kamu mau gak ngasih aku kesempatan kedua?"
To be continued...
Fast update selagi ada ide. Semoga bisa cepat-cepat tamat. 😁😁😁
Andieeeeer,
Pinrang, 20 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...