Dion Mahendra is calling....
Tanpa mikir ini itu langsung gue pencet bundaran hijau bergambar telepon di layar ponsel.
"Din, kamu kenapa? Ada masalah? Sama Rifky lagi?"
Bukannya ucapin salam atau basa-basi apa kek. Dion langsung mencecar gue dengan berbagai pertanyaan. Ada nada khawatir dalam setiap ucapannya dan hal itu berhasil membuat hati gue menghangat.
"Halo, Din? Kamu masih di sana?"
Dion kembali bertanya, mungkin karena gue gak kunjung bicara. Gue bingung sendiri mau jawab apa.
"Masih nyambung kok. Din? Din?"
"I-iya, halo, Yon."
"Kamu kenapa? Kok diam aja dari tadi?"
Nada suara Dion kembali berubah jadi power ranger, gak ding becanda, jadi lebih lembut.
"Gapapa hehe."
"Terus tadi misscall sampe sepuluh kali, kenapa? Bikin panik aja."
Gue harus jawab apa ini? Gue khawatir gitu? Ntar dia malah mikir macem-macem. Duh, gue jadi pusing sendiri.
"Iseng aja, haha."
Gue tahu ketawa gue pasti garing banget.
"Yakin?"
"Iyaaa ... abis biasanya lo langsung jawab kalo ditelepon."
"Oh, kirain kamu ada masalah lagi sama Rifky."
Dih jleb. Segitunya, ya, pikiran Dion. Atau emang selama ini gue cuma nyari dia, kalau ada perlu yang berhubungan dengan Rifky aja? Berarti gue jahat banget, ya, jadi temen?
"Dih, gue kek jahat banget."
"Haha, becanda."
Gue jadi lega denger jawaban serta tawa Dion. Itu berarti gue gak jahat 'kan?
"Eh, Yon, meet up yuk? Udah beberapa hari ya, kita gak ketemu?"
"Kenapa? Kangen?"
"Dih, gue cuma mau makan gratisan."
"Haha. Tapi sorry nih gue beberapa hari ini keluar kota."
"Oh pantes, kata Riri beberapa hari ini lo gak ada di kafe."
"Iya sehabis antar kamu ke kampus waktu itu, aku langsung otewe."
Pantes aja dia tiba-tiba aja ngilang. Eh, tanyain tentang caption foto dia di intagram gak ya? Kok gue jadi kepo sendiri.
"Kapan balik?"
"Mungkin dua hari lagi."
"Oke. Kalo udah balik, ngumpul, ya?"
"Gak ah. Ntar ditonjok Rifky lagi."
Ah, gue jadi teringat sama peristiwa di mana Dion mendapatkan hadiah bogem mentah dari Rifky.
"Dasar. Oh iya, kenapa lo gak bilang kalau kafe yang kita datangin waktu itu, kafe Rifky?"
"Oh, kamu udah tau itu kafe dia? Kok bisa?"
Dasar kebiasaan deh. Kalau ditanyain, bukannya dijawab, malah ngasih pertanyaan juga. Buat gue pengen nge-roll eyes sampe monas.
"Iya, Rifky sendiri yang cerita."
"Kalian udah gencatan senjata?"
"Dih, emang kami lagi perang? Entahlah, selama beberapa hari kemarin dia abis jadi supir dadakannya papa. Jadinya gitu deh, sering ketemu dan akrab lagi."
Hening untuk beberapa saat. Dion gak langsung merespon ucapan gue.
"Oh ya? Selamat kalo gitu."
"Tapi kami gak balikan."
Gue secara reflek memberitahukan tentang hubungan gue dan Rifky. Entahlah, gue ngerasa harus aja ngasih tau ke dia.
"Oh."
"Oh doang. Jawab tuh pertanyaan gue tadi."
"Ntar aja deh pas ketemu."
"Yaudah, awas kalo lo lupa."
"Siap komandan."
Gue bisa bayangin Dion mengucapkan kalimat tadi dengan ala-ala tentara. Buat gue terkikik pelan.
"Ada lagi?"
"Hmm ... gak ada keknya."
"Yaudah gue tutup telponnya ya?"
"Eeeh tunggu!"
"Apa?"
"Next time jangan pake aku-kamu lagi. Enek gue dengernya."
Gue gak nunggu Dion menjawab permintaan gue. Dengan segera gue memutuskan sambungan telepon. Padahal Dion yang nelpon.
To be continued....
Semakin aku pengen namatin ceritanya. Kok makin mager nulisnya, ya. 🤣🤣🤣
Andieeeeer,
Pinrang, 13 November 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...