"So ... kamu mau gak ngasih aku kesempatan kedua?" tanya Rifky penuh harap. Gue bisa lihat raut serius dari wajahnya. Kalau kayak gini, gue jadi galau lagi. Satu sisi gue masih cinta sama dia. Sisi lainnya, gue masih terlanjur kecewa.
"Aku janji, Din, untuk mengubah semua sikap jelek aku," lanjutnya saat melihat gue masih bimbang untuk menjawab apa.
"Riff ...." Gue memanggil namanya dengan pelan, lalu mengembuskan napas panjang yang entah udah keberapa kalinya gue lakuin selama berada di taman ini.
Setelah mulai merasa tenang, gue mendongak yang langsung mempertemukan netra kami. Ada buncahan rasa yang gue rasain di dada. Ini yang gue nanti-nanti selama ini, Rifky jujur sama gue. Terus kelanjutannya apa? Kenapa justru di momen ini gue malah merasa linglung. Segala impian yang udah gue bangun, serasa memudar.
"Riff ...." Lagi, gue cuma memanggil nama dia, ucapan yang hendak gue keluarkan selanjutnya seakan sangat sulit untuk diucapkan.
"Kamu tahukan kalau aku sayang banget sama kamu? Baru lihat kamu sekali aja, aku udah jatuh cinta. Anehkan?" Gue tertawa kecil ketika mengingat pertemuan pertama kami di kafe milik Dion. Bisa-bisanya gue jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia.
Gue masih inget dengan jelas apa yang dikatakan oleh sahabat gue, saat bilang jatuh cinta pada Rifky yang notabene baru pertama kali gue temui.
"Gila."
"Kena santet lu."
"Hari gini jatuh cinta on first sight? Udah gak jaman."
Itu ucapan pedas yang terlontar dari mulut Riri, July dan Mitha. Untung gue udah kenal lama, jadi ucapan mereka cuma angin lalu. Buktinya saat gue usaha PDKT (Pendekatan), mereka yang paling semangat bantuin gue.
"Terus kamu tau gak, betapa bahagianya aku saat kamu setuju buat jadi pacar aku? Walaupun tanpa kata cinta, tapi aku yakin kamu serius. Apalagi kamu bilang bakalan usaha buat cinta sama aku. Bagai mimpi di siang bolong."
Gue kembali tertawa, mengingat betapa menyebalkannya gue dulu. Sudah menguntiti Rifky, SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) pula. Walaupun Rifky termasuk cowok yang welcome sama orang baru, tak jarang gue mendapatkan wajah risih darinya. Hingga akhirnya, mungkin dia mulai terbiasa dengan kehadiran gue.
"Kamu inget gak, bagaimana respon aku saat Dion bilang hati-hati dengan cowok yang mendekati kamu? Soalnya kebanyakan mereka, gay? Waktu itu aku ngakak abis, tapi kelama-lamaan aku jadi mulai paranoid. Gimana nasib aku, kalo kamu kepincut sama laki-laki? Mana aku belum tau, kamu beneran cinta atau ngak ke aku. Puncaknya waktu kamu ngilang bareng Reza waktu itu. Aku—"
"Waktu itu Reza ketahuan sama orang tuanya kalau dia gay. Aku nemenin dia, takut kalau kejadian Rangga keulang lagi," ucap Rifky memotong cerita gue.
"Tuhkan kamu ketahuan bohong lagi. Waktu itu kamu bilang Reza sakit." Gue tertawa, tetapi air mata gue juga ikut mengalir. Miris banget sih, nih nasib. Sedangkan Rifky, kembali bungkam.
"Mungkin aku bisa terima alasan kamu, tapi sepertinya hati aku belum siap jika terluka lagi. Jadi kasih aku waktu, ya?" ucap gue tulus. Keputusan berat ini udah aku kumandangkan.
Melihat Rifky yang masih memilih bungkam, gue pun lanjut berbicara, "Lagian, masih ada hal yang mau aku pastiin. Kamu ngerti 'kan?"
"Hmm." Rifky cuma bergumam. Entah itu sebagai jawaban iya atau ngak.
"Aku anggap itu sebagai iya. Jadi aku minta kita gak ketemu dulu, lagian Papa udah mau pergi lagi, besok."
"Sampai kapan?"
"Sampai hati aku nemuin jawabannya."
To be continued...
Keknya ini udah bukan cerita humor deh 😔 gak ada lucu-lucunya. Semoga suka, beberapa part lagi harusnya tamat. Semoga semangat untuk nulis. 😂😂😂
Andieeeeer,
Pinrang, 22 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...