"Sama siapa?"
"Sama ...." Rangga menggantung ucapannya, membuatku gregetan karena dia tak kunjung menyebutkan nama pacarnya.
"Gak jadiah, Bang." Setelah mengucapkan kalimat itu, Rangga langsung kabur menuju kamarnya.
Dasar, anak itu. Mungkin dia berpikir, aku akan menentang hubungannya. Padahal aku hanya murni ingin tahu saja. Malahan kalau boleh, aku ingin berterima kasih pada gadis yang telah merubah Rangga, menjadi lebih hidup.
Setelah beberapa kali bertanya dan tak kunjung mendapatkan jawaban, aku pun menyerah. Mungkin Rangga hanya malu membicarakan tentang hal itu.
Hingga suatu hari aku menemukan motor yang lumayan aku familier terparkir di halaman rumah. Saat masuk, aku melihat Rangga berbincang dengan seseorang pria berseragam SMU sepertiku.
Aku tidak dapat melihat siapa dia, karena posisinya yang membelakangiku. Aku hanya dapat melihat Rangga yang bercerita dengan semangat. Itu hal yang baru bagiku, bahkan denganku sekali pun Rangga tak pernah sesemangat itu. Saking semangatnya, Rangga tak menyadari kehadiranku.
Hal ganjil yang kulihat berikutnya, saat Rangga menggenggam tangan pria di sebelahnya. Lalu dia menatap orang itu dengan pandangan yang sulit aku artikan. Memuja? Cinta?
"Rangga?" panggilku membuat keduanya tersentak dan melepaskan tautan tangan mereka.
Bukan hanya mereka yang tersentak, aku pun mengalami hal yang sama, saat melihat siapa orang yang duduk di sebelah Rangga. "Dion?" ucapku tak percaya dengan siapa yang duduk di samping Rangga.
Setahuku Dion dan Rangga tidak akrab. Hampir tiap kali Dion berkunjung ke rumah, Rangga selalu memilih untuk mengurung diri dalam kamar. Lalu apa ini? Pegangan tangan antar lelaki? Bagiku ini sangat tidak wajar. Walaupun itu antara sahabat dan adikku sendiri.
"Hmm, Bang, a–anu," ucap Rangga gelagapan.
Ucapan Rangga yang tidak jelas, membuatku tidak sabaran. Sehingga aku pun sedikit membentaknya. "Anu apa? Kalau ngomong yang jelas dong."
"Aku suka sama Kak Dion!"
"Tunggu! Keknya, Abang, salah denger deh. Kamu suka sama Dion?" tanyaku memperjelas ucapan Rangga yang menurutku sangat tidak masuk akal.
"I–iya, Bang," jawab Rangga kembali terbata. Aku bisa lihat dengan jelas raut ketakutan dari wajah adikku itu.
"Kamu apain Adik aku, hah!" tanyaku ke Dion yang sejak tadi hanya diam saja.
"Jawab, Yon!!!" Bahkan setelah aku bentak Dion tetap diam saja, membuat emosiku makin memuncak. Hingga akhirnya sebuah bogem mentah dariku mendarat di pelipis Dion.
"Abang! Itu bukan salah kak Dion." Rangga berusaha untuk menghentikan tingkahku yang kini telah menghujam tubuh Dion dengan pukulan.
"Pulang kamu, mulai sekarang jangan pernah muncul di hadapan aku, terutama Rangga."
Setelah kejadian itu, aku melaporkan Rangga ke orang tua kami. Reaksi mereka hampir sama sepertiku, mengatakan Rangga sakit. Bisa-bisanya dia menyukai seseorang yang sama sepertinya yang notabene seorang laki-laki juga.
Hingga akhirnya kejadian naas itu terjadi, Rangga bunuh diri. Dia bilang tidak sanggup lagu menghadapi tekanan dari kami, keluarganya. Rangga dengan jelas menyatakan kekecewaannya kepadaku. Aku, satu-satunya orang yang Rangga anggap dapat menerima kondisi dia malah yang paling menentang jalan yang dia pilih.
"Sekarang kamu ngerti 'kan, Din?"
To be continued...
Aku bingung nulis bagian ini, makanya sampe molor nulisnya 😭😭😭
Semoga suka.Andieeeeer,
Pinrang, 18 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...