Beberapa hari terakhir gue sama Rifky gak pernah ketemu. Lagi akhir bulan, laporan numpuk dan Rifky dapat tugas tambahan buat ngebimbing mahasiswa magang di kantornya.
Jangan tanyakan tentang Reza, gue gak tahu. Penting juga gitu, gue cari tahu. Mungkin dia seperti Aelvin, Dino, Rico, Farel, hmm siapa lagi ya? Pokoknya itu, yang pas tahu Rifky straight seperti penggaris lurus atau usaha mereka gagal, mundur dengan teratur.
"Din, Rifky belum nyampe?" tanya July membuyarkan lamunan gue.
"Belum, Jul. Bentar gue telepon dulu." Gue pun dengan segera memencet lama angka nomor dua di ponsel gue, yang merupakan speed dial untuk nomor Rifky.
"Halo, Yang, udah di mana?" tanya gue begitu panggilan kami terhubung.
"Waalaikumsalam. Masih di kantor, Yang. Mobilku mogok." Aku jadi garuk kepala sendiri, mendengar ucapan salam dari Rifky, saking antusiasnya lupa bilang salam.
"Jadi gimana?"
"Kalian duluan aja."
"Yaudah, gak usah dipaksain kalo gak bisa."
"Aku usahain datang, ya."
"Sip. Udah dulu ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Gimana?" tanya July lagi, begitu gue selesai mengucapkan salam.
"Mobilnya mogok. Yaudah sih mulai aja," jawab gue. Oh iya sekarang July, Mitha, Dion plus Fajar—pacar Riri—lagi menginvansi rumah gue. Kami lagi ngumpul atas permintaan Fajar. Jadi inget masa SMA, dulu kalau ngumpul pasti di sini, soalnya mama suka siapin cemilan buat kita.
"So, kenapa lu ngumpulin kita, Jar?" Kali ini Mitha yang bertanya.
"Hmm. Gini. Saya rencana mau ngelamar Riri, dan mau minta tolong sama kalian."
Jawaban Fajar, sukses membuat kami berempat terdiam. Jahat gak sih, kalo gue ngerasa iri? Dari kami berempat, Riri termasuk paling beruntung dalam urusan asmara. Kejahatan apa yang dilakuin sama Fajar di masa lalu, bisa-bisanya dia dapat cewek, yang doyan lihat cowok sama cowok ciuman.
"Congrats ya Bro, turut berduka cita juga," ucap Dion yang pertama kali tersadar dari keterkejutan dari berita duka dari bibir Fajar. "Tapi kalo lu masih mau cobain sama cowok, gue siap kok."
"Thank Bro, tapi gak deh." Setelah itu, gue, July, dan Mitha gantian mengucapkan selamat berduka cita untuk Fajar.
"Terus, lu maunya kek gimana, Jar?"
"Nah itu, saya masih bingung. Maunya sih, yang sampai Riri nangis. Tiga tahun pacaran, saya belum pernah lihat Riri nangis?"
"Kalo cuma mau lihat Riri nangis mah gampang, cukup bakar koleksi komik yaoi impor dia. Pasti nangis deh."
"Iya nangis, abis itu saya diputusin, Ta," jawaban Fajar sontak membawa tawa di bibir kami. Koleksi manga yaoi Riri, termasuk dalam jajaran hal terpenting dalam hidup Riri, posisi Fajar aja mungkin kalah sama koleksinya itu.
"Lu sih, maunya ketinggian."
"Yang biasa aja deh Jar, Riri gak cocok diromantisin."
"Nah yang ada dia geli sendiri."
"Kecuali lu sodorin couple homo lagi so sweet-an, baru deh dia ucap syukur."
Rifky datang ketika kami asyik memberi ide untuk Fajar, "Hai gak telat banget 'kan?"
"Gak kok, Yang. Mobilnya gimana?"
"Masuk bengkel."
"Lah, terus ke sini gimana?"
"Aku sama—" belum sempat Rifky menjawab, gue dikagetkan oleh kemunculan makhluk terakhir yang ada dalam bucket list gue sebelum mati. "—Reza."
"Eh? Dia yang waktu itu di kafe lu, kan, Yon?"
Dion tampak berpikir saat mendengar pertanyaan Mitha, "Keknya, iya. Reza 'kan?"
"Kok bisa, Yang?"
Rifky tampak mengernyit saat mendengar pertanyaan gue, "Bukannya, aku udah bilang ya?"
"Ih, belum!"
"Kan dia mahasiswa yang magang di kantor aku, Yang." Apa-apaan lagi ini? Ini acara reality show yang di tv-tv bukan? Kalau iya, gue lambaikan tangan ke kamera deh.
To be continue...
Dapet gak feelnya? 😧😧😧
Kok di aku, nganu ya 😵😵😵Andieeeeer
Pinrang, 7 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...