Sisa satu langkah lagi! Gelar Sarjana Teknik Industri melekat di belakang nama gue.
Bersyukur banget seminar hasil gue berjalan dengan lancar. Semua pertanyaan dari dewan penguji tentang hasil penelitian gue hampir semuanya bisa gue jawab.
Kedua pembimbing gue juga baik banget, mau ngebelain gue saat penguji gak puas dengan jawaban yang gue kasih. Malah kadang pembimbing sama penguji gue yang balas-balasan ngasih pendapat sedangkan gue cuma nonton. Sayang kurang popcorn, biar berasa kek di bioskop gitu.
Selesai beresin ruang sidang, gue segera keluar buat nyariin Rifky. Gue mau ucapin makasih atas semangat yang dia kasih tadi sebelum gue masuk ruang sidang.
Gue udah nyari di sekitar fakultas, tetapi gue gak berhasil nemuin satu pun jejak keberadaan Rifky. Dengan berat hati gue pun balik ke gedung jurusan.
"Misi, Bu, liat Rifky gak?" tanya gue ke bu Silfi yang sedang duduk di kursi kebesarannya.
Bu Silfi tampak berpikir sejak mendengar pertanyaan gue, "Rifky yang angkatan berapa, Din?"
Gue menggaruk kepala gue yang gak gatal, kok gue mulai goblok, ya? Bu Silfi mana tau Rifky yang mana. Apalagi nama dia lumayan pasaran. "Hehe maaf, maksud Dina cowo yang tadi bawa buah, Bu."
"Oh tukang catering itu, ya?" Buset, bukan tukang catering juga kali, Bu. Tapi gue cuma mengangguk untuk mengiyakan.
"Tadi udah pamit, Din, kenapa?"
Boleh gak sih kalau gue ngerasa kecewa?
Gue menggeleng pelan, "Gapapa kok, Bu. Makasih, ya."
Keknya tadi gue udah membangun harapan tinggi kalau Rifky sengaja datang buat menyemangati gue. Namun, ternyata semua itu cuma harapan gue semata.
"Din, lo dipanggilin dari tadi kok gak ngejawab sih?" tanya Riri yang muncul tiba-tiba bagai kuntilanak. Datang tiba-tiba padahal gak ada yang manggil.
"Hah? Emang lu kapan datangnya, Ri?" tanya gue balik sama sekali gak nyambung sama pertanyaan Riri.
Gue ngelihat Riri nepuk jidatnya yang lebar bagai lapangan tenes itu saat mendengar jawaban gue. "Udah lupain. Gimana seminarnya?"
Gue senyum dong denger pertanyaan Riri, "Sukses, Ri," seru gue nyaris menjerit. Setelah itu Riri memeluk gue erat turut berbahagia. Kami bahkan berputar-putar sambil berpelukan seperti anak kecil.
"Oh iya, Ri, lu datang ke sini kapan? Tadi lu belum jawab dah," tanya gue saat tiba di kantin fakultas. Sehabis berpelukan tadi Riri langsung meminta traktiran.
"Cuma gue yang dengan baik hatinya mau ke sini liatin lu ujian. Makanya lu harus baik-baik ke gue. Traktir makan misalnya," kodenya.
Untung mood gue lagi baik, makanya di sinilah kami sekarang.
"Gue nyampe gak lama setelah lu masuk ruang ujian," jawab Riri sambil menyeruput jus jeruknya yang baru saja diantarkan.
"Berarti lu ketemu sama Rifky dong?" cecar gue.
"Hah? Rifky? Ngeyel lu." Gue memberengut akan jawaban Riri itu.
"Beneran tau, tadi ada Rifky. Dia nganterin buah untuk catering," ucap gue mencoba untuk membela diri.
Riri menatap gue seakan tak percaya atas apa yang gue ucapin. "Sejak kapan Rifky jadi Kang Catering?"
"Mana gue tahu, lu 'kan tahu sendiri, gue gak pernah ketemu Rifky lagi."
"Trus itu apa? Kok tau Rifky ke sini nganterin catering?" selidik Riri masih gak percaya.
"Soalnya gue nguping tadi, waktu Rifky bicara sama Bu Silfi," jawab gue gemes.
Riru mengeluarkan smirk andalannya, "Oh, nguping toh. Kepo banget lu, Din, sama mantan. Oh iya, lukan gamon, Din."
Gue jadi badmood sendiri mendengar ledekan Riri. Gue langsung berdiri dan mengambil tas. "Bodo', gue mau pulang."
"Yaelah ngambek," ejek Riri.
"Bayar makanan gue dulu sebelum pergi!" tambahnya, tetapi gue memilih untuk segera pergi tanpa membayar pesanan Riri.
Biarin deh, sekali-kali tuh anak mesti dikasih pelajaran.
To be continued....
Kalo gak buka wattpad, kadang lupa kalo ada cerita yang mesti dilanjutin wkwk.
Andieeeeeer
Pinrang, 1 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...