"Ardina Mayangsari Sarjana Teknik."
Gue yang emang udah siap-siap langsung berjalan dengan penuh semangat menuju podium begitu nama gue disebut.
"Selamat ya," ucap Pak Bambang—Dekan Fakultas Teknik Industri saat menyerahkan map hijau yang seharusnya berisi ijazah. Iya, seharusnya, karena kenyataannya cuma berupa fotocopy.
Setelah dari pak Bambang gue pindah menuju Bu Dekan yang bakalan mindahin tussel pada topi toga gue dari sisi kiri ke kanan dan akhirnya selesai juga tradisi wajib dalam prosesi wisuda yang gue impikan semenjak ngerasain betapa susahnya jadi mahasiswa.
Selama prosesi wisuda yang memakan waktu berjam-jam itu, gue sempat menitikkan beberapa tetes air mata. Apalagi pas mengingat kejadian hampir sebulan yang lalu. Tepatnya pas hari ujian akhir gue.
Penyakit cemas gue kumat lagi malam itu, alhasil gue baru bisa tidur saat adzan subuh mulai berkumandang. Mungkin azab karena gue tidur tanpa sholat subuh dulu, paginya gue bangun pukul tujuh lewat. Sedangkan gue ujian akhir pukul delapan teng.
Gue sangat berterima kasih sama Mytha yang udah ngomel-ngomel pas jemput gue karena kalau bukan omelannya tadi gue mungkin masih tidur.
"Ta, kebut ya," ucap gue melas ke Mytha, bukan apanya kurang dua puluh menit lagi pukul delapan. Sedangkan jarak rumah gue ke kampus gak bisa dibilang deket. Apalagi hari ini senin, yang berarti jalanan biasanya macet.
"Gila lo," omel Mytha, tetapi tetap saja gadis itu menambah laju mobilnya.
Hingga akhirnya mobil truk di depan mobil Mytha berhenti secara mendadak, otomatis Mytha harus ngerem juga, tetapi sayang Mytha agak telat mobilnya menabrak truk di depannya. Untung aja kaca dan bagian tempat duduk gak sampai rusak.
"Din, lo gapapa?" tanya Mytha khawatir melihat gue yang gak kunjung bergerak.
"Ta, ujian gue gimana?" tanya gue akhirnya. Gila ya gue, udah kecelakaan kek gitu masih sempat-sempatnya mikirin ujian.
"Lo keluar dulu deh." Gue baru sadar kalau Mytha udah berada di luar mobil sejak dia bertanya tadi.
Setelah keluar dan memastikan gue baik-baik aja, Mytha tampak berbicara dengan salah satu pengguna motor yang ikut singgah saat kami kecelakaan.
"Lu ke kampus gih, udah deket. Gue udah minta tolong sama Mas yang itu buat nganter lu."
"Tapi, Ta...."
"Gak ada tapi-tapian. Cepet, bentar lagi jam delapan. Gue di sini dulu ngurusin mobil."
Dengan berat, gue pun meninggalkan Mytha dengan mobilnya yang bagian depannya sudah tak berbentuk lagi.
Gue nyampe kampus pukul delapan lewat, sehingga gue mesti langsung masuk ke ruang ujian karena penguji gue udah ada di ruangan.
Entah karena syok atau apa, kebiasaan grogi dan cemas gue menghilang begitu saja.
Sampai akhirnya ketua penguji gue menyatakan kalau gue lulus ujian akhir. Kaki gue langsung menjadi lemas dan air mata gue keluar aja dengan derasnya. Iya gue nangis histeris. Gue ngebayangin nyawa gue yang hampir saja melayang kalau saja Mytha telat menginjak rem sedetik saja.
Tangis gue baru mereda saat merasakan seseorang mendekap gue dari belakang. "Sst, udah kamu gapapa." Dari suaranya yang amat gue kenal itu, gue yakin kalau orang yang sedang memeluk gue ini adalah Rifky.
"T—tapi, Rif...."
"Udah, aku tau kok. Kamu tenangin diri dulu, ya," ucap Rifky lagi tanpa melonggarkan pelukannya.
Beberapa menit kemudian, tangis gue mulai reda. Gue pun meminta Rifky untuk melepaskan pelukannya. Setelah berdiri, gue baru sadar kalau sedari tadi gue menjadi tontonan warga jurusan.
"Kok kamu bisa ada di sini sih, Rif?" tanya gue rada penasaran begitu kami berhasil menyingkir dari tatapan warga jurusan.
"Aku disuruh sama Om Bimo. Oh iya, selamat ya, Din," ucap Rifky sambil menyerahkan sebuket bunga lily putih yang merupakan salah satu bunga favoritku. Entah dari mana datangnya tuh bunga, perasaan dari tadi Rifky gak bawa bunga deh.
Walaupun karena hasil suruhan papa, gue bersyukur ada Rifky di sini. "Kamu tau soal kecelakaan tadi?"
Rifky mengangguk atas pertanyaan gue, "Aku tau dari Riri. Makanya pas dengar kamu nangis, aku langsung masuk."
"Riri? Terus Ririnya mana?"
"Pergi jemput Mytha katanya."
Baru saja gue nanya keberadaannya. Secara ajaib Riri, Mytha, dan July muncul dari arah parkiran.
Setelah berkumpul kami segera berpelukan seperti teletubies.
"Tha, maaf ya. Gara-gara gue, mobil lo jadi rusak."
Mytha menepuk pundak gue dengan pelan, "Santai aja, Din. Ntar pasti lu, gue kirimin bil servis mobil gue kok."
"Sialan," ucap gue sambil tertawa yang diikuti oleh ketiga sahabat gue itu.
Gue sempat melihat ke arah tempat Rifky duduk. Saat pandang kami bertemu, dia melemparkan senyumannya yang dari dulu sangat gue suka.
To be continued....
Wow, hampir dua bulan gak update. Maaf, semoga masih ada yang baca. Aku nargetin cerita ini selesai sebelum awal tahun. Sisa dua atau tiga bab lagi. Semoga kali ini beneran bisa tamat.
Andieeeeer
Pinrang, 29 November 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...