Keknya akhir-akhir ini gue kebanyakan ngeluh deh. Bukan karena apa, tapi emang keberuntungan lagi gak berpihak sama gue. Padahal gue termasuk anak yang rajin bersyukur.
Masih ingat sama kejadian beberapa hari yang lalu, saat kami ngumpul di rumah gue karena Fajar yang pengen ngelamar Riri? Setelah mereka semua pulang, Fajar dengan polosnya nge-chat gue dan minta tolong untuk bantuin ngurus izin ke EO temennya Reza. Gilakan?
Gak cukup apa gue harus menghadapi kenyataan jika Rifky dan Reza sekarang satu kantor. Itu berarti mereka bakalan ketemu setidaknya lima hari dalam seminggu, waktu yang cukup banyak buat tebar pesona dan PDKT. Ya ampun, pikiran gue udah kemana-mana.
Berhubung ini soal Riri, sahabat gue dari kecil, gak mungkin gue tega buat nolak. Walaupun dalam hati gue memaki dan mengatakan hal ini berlebihan. Demi Riri, di sinilah gue sekarang, duduk manis di dalam mobil Reza. Iya Reza yang itu. Jangan tanyain Rifky mana deh. Ngebetein. Rencananya dia bakalan nemenin gue, sekali lagi cuma RENCANANYA, harus capslock biar jelas.
Katanya sih, pas mau berangkat tiba-tiba Rifky dapat panggilan dari bosnya untuk ketemu dengan klien. Jadilah gue harus berada dalam situasi yang paling awkward dengan seseorang yang udah gue tandain sebagai musuh.
"Gak usah tegang gitu kali. Yuk turun, kita udah nyampe," ucap Reza. Di depan gue berdiri berbagai ruko dua ataupun tiga lantai. Salah satunya berplang 'Sinergi Event Organizer'.
"Siapa yang tegang? Gue cuma malas semobil sama lo," jawab gue sambil melepaskan seatbelt. Reaksi Reza? Dia malah tertawa ngakak.
"Dasar gila."
Saat ketemu dengan mbak Sisil—temen Reza—harus gue akuin ide Reza emang bagus. Beberapa kali gue ngedengar kalimat penuh pujian terlontar dari mulut mbak Sisil. Gue? Duduk manis lagi sambil main hape.
"Oke deh, Mbak, gue percaya kalo Mbak Sisil yang pegang langsung. Makasih ya," ucap Reza tanda pertemuan kami akan segera berakhir.
"Nyantai aja kali, Za. Kamu juga sering banget Mbak repotin. Oh iya, kita keasyikan ngomong, sampai temen kamu dilupain." Sekarang pandangan mereka berganti, jadi natap gue. Sedangkan gue yang ditatap cuma bisa tersenyum kecut sambil bilang, "Gak apa-apa kok."
"Dia sih astral Mbak, kadang gak terlihat." Nih mulut Reza kok pedasnya kek mie naga level sepuluh. "Yaudah, Mbak, kami pamit dulu."
***
"Lo mau di antar balik ke mana?" tanya Reza saat kami turun menuju lantai satu. Wuih, baik juga nih anak, kirain habis ini gue bakalan ditelantarin, kek anak tiri di sinetron-sinetron.
"Gak usah, gue udah janjian sama Dion."
"Oh."
Begitu tiba di lantai bawah, sudah ada Dion di sana. Sepertinya Dion lagi ngegombal receh ke resepsionis kantor EO ini deh. Tuh cewek pipinya udah memerah aja. Gak tahu sih itu efek gombalan Dion atau emang blush on-nya emang tebal. Ini mbaknya gak tahu aja sebenarnya Dion doyannya batangan.
Kadang gue ngerasa prihatin lihat cewek yang baper sama cowok cakep, padahal gak tahu aja tuh cowok satu spesies sama Dion. Tapi semoga aja gue gak termasuk dalam golongan cewek tadi, gue yakin Rifky masih lurus kok.
"Kalian mau ke mana?" tanya Reza. Nih anak kok kepo banget dah.
"Paling makan terus nganterin nih Nyonya pulang."
"Yaudah, gue ngikut kalian. Gue juga mau makan," ucap Reza dengan nada suara mutlak seakan gak bisa dibantah lagi.
Gue dan Dion cuma saling tatap seakan ngomong, "Siapa yang ngajak dia?"
To be continue...
Ya ampun akhirnya update lagi, setelah kalah prioritas sama nastar dan kawan-kawannya. Oh iya semoga bisa rajin update lagi soalnya lagi ikut projek writing camp gitu.
Udah ah, semoga feel-nya gak ilang. Ciao Bella.
Andieeeeer
Pinrang, 8 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bukan GAY!!!
General FictionTemui Dina dengan segala kegalauannya. Punya pacar, dengan tingkat feromon yang sangat kuat. Bagaimana Dina tidak galau, jika setiap jalan dengan pacarnya ada saja lelaki tampan menghampiri mereka? Bukan untuk berkenalan dengan Dina, tetapi ke paca...