"Well, aku rasa ini saatnya. Goodbye, Alexis. Aku akan sangat merindukanmu. Tetaplah berhubungan denganku, aku tak mau kehilangan kau." kata Justin lalu memelukku.
"Jangan lupakan aku, oke." kataku.
"Pasti. Jaga dirimu." katanya.
"Oke. Hubungi aku kalau kau sudah sampai." kataku.
"Yeah." jawabnya lalu melepas dekapannya. Dia mengusap air mata di pipiku.
"Jangan menangis, aku akan pulang segera setelah libur natal." katanya.
"Aku menunggumu." kataku, masih berharap Justin membatalkan kepergiannya.
"Ya, tak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja. Bye, Alexis." katanya lalu melambaikan tangan.
"Bye, Justin." aku membalas lambaiannya. Melihatnya pergi dan meninggalkan sebuah ruang kosong di kehidupanku. Aku tau ini terdengar dramatis, tapi aku memang merasa kehilangan. Kehilangan sahabat terbaik yang aku punya. Aku bahkan tak bisa lagi membayangkan bagaimana kehidupanku di Montreal tanpanya, terlalu banyak tekanan di sini.
[skip]
Mom memberiku sepucuk surat ketika aku kembali. Aku membukanya, dan ternyata itu Justin, aku tahu dari tulisannya yang tak bisa dibaca orang lain kecuali aku. Aku tidak bohong. Dia menjadikan tulisan itu seperti morse untuk kami, hanya kami yang tahu.
Dear, Alexis
Aku tahu kau ingin aku tinggal, aku tahu kau tak setuju dengan kepindahanku, karena aku juga tidak setuju. Kau tahu maksudku. Aku minta maaf atas kepergianku yang terkesan mendadak, tapi Dad sudah mengusir kami dari rumah, dia tak sudi lagi melihat kami. Aku sudah memohon padanya tapi dia tak mau mendengar. Aku harap kau mengerti.
Oh ya, kau tak perlu khawatir, aku takkan melupakanmu. Bagaimanapun juga kau tetap adik kecilku yang paling aku sayang. Seperti kataku dulu, tak ada orang yang sanggup menggantikanmu.
Dan satu hal lagi, aku janji tak akan menjadi bad boy seperti katamu. Aku akan menjaga diriku, dan aku harap kau juga. Aku hanya akan melanjutkan SMA lalu kuliah, lalu aku akan pulang. Oh iya, tak usah cemburu pada Grace, dia hanya anak bibiku, dan kami hanya akan tinggal bersama sampai Mom mendapat rumah yang layak. Don't be jelly, okay.
Big hug,
Justin.
Aku berusaha keras untuk merelakannya segera. Terus berpikir tentang Justin membuat perutku bergejolak. Aku hanya makan sepotong pizza yang diberikannya sebelum muntah lagi. Aku sempat berpikir aku kena bulimia.
"Alexis." panggil Mom.
"Yeah?" jawabku.
"Musim lari sebentar lagi dimulai, Dad ingin kau segera latihan." katanya. Lari lagi, lari lagi.
"Oh, Mom, aku bosan. Tak bisakah kau mengijinkanku beralih menjadi atlet renang? Atau hockey?" tanyaku.
"Dad lebih bangga kau jadi atlet lari, Lex." kata Dad tiba-tiba. Aku tersentak.
"Kau bahkan belum bisa melakukan gaya bebas dengan benar." kata Mom.
"Pfh, oke, aku akan latihan mulai besok." kataku.
"Kalau kau memenangkan lomba musim ini, kau bisa pergi ke LA untuk lomba selanjutnya." kata Dad. Tunggu, apa aku salah dengar? LA?
"Los Angeles?" tanyaku.
"Yep. Los Angeles. Kata pamanmu kau akan masuk sekolah atlet kalau kau menang lomba kedua." kata Dad.
"Aaaaaaaa aku harus menang. Aku harus menang." teriakku.
"So, latihanlah mulai sekarang." kata Mom.
"Oke, aku berangkat." kataku lalu beranjak.
"Ini jam 10.30. Kau yakin kau tak terbakar di luar?" tanya Dad. Aku menghentikan langkahku.
"Godness, aku terlalu bersemangat." kataku.
"Mulailah besok pagi jam 4. Dad akan menemanimu." kata Dad.
"Ehm, oke. Thank's, Dad." kataku lalu kembali ke kamar.
[skip]
Aku terbangun jam 3 pagi dan tak bisa tidur lagi. Aku bosan hanya memandangi langit-langit kamarku yang catnya telah memudar. Akhirnya aku memutuskan untuk menulis pesan. DAD AKU TAK BISA TIDUR, AKU PERGI BERLARI JAM 3 PAGI.
Aku menyusuri jalanan rumahku yang masih gelap. Aku tak takut hantu, aku lebih takut kalau petugas keamanan mengira aku orang gila yang berlari-lari saat dini hari lalu mereka menangkapku, dan aku tak bisa melanjutkan karir lariku.
Saat langit berubah kebiruan, aku mendengar sepeda yang dikayuh kencang di belakangku. Dad, pikirku.
"Kau berlari sepelan kura-kura." katanya. Aku berhenti. Sepeda Dad berhenti tepat di depanku.
"Oh My God, Dad. Ini hanya permulaan. Aku sudah lama tak berlari." kataku.
"Ya ya ya, permulaan atau apa, kau tetap harus berlari kencang." kata Dad.
"Oke, oke, aku akan memperbaikinya." kataku lalu berlari lagi.
"Ya, that's my girl!" kata Dad di belakangku. Aku menerobos setiap palang di jalan itu layaknya atlet halang rintang. Dad tetap mengikutiku dengan sepeda gunung tuanya, atau lebih tepatnya sepeda gunung tua pamanku.
"Lebih cepat, Lexie." teriak Dad.
"Jangan panggil aku Lexie atau aku akan berhenti." kataku.
"Oke, oke, Alexis, lebih cepat!" katanya. Aku mempercepat lariku hingga aku melewati rumah lama Justin. Aku tak tahu kenapa aku jadi sulit berkonsentrasi.
Beruntung aku berhenti tepat ketika sebuah truk pengantar susu melintas. Hampir saja aku mati tertabrak. Aku tak akan bisa menerima kematianku tertulis di koran dengan huruf klasik di bagian depan, ALEXIS CAMPBELL, MENINGGAL KARENA TERTABRAK TRUK PENGANTAR SUSU.
"Kau tak apa?" tanya Dad.
"Tidak, aku baik-baik saja." kataku lalu mengatur nafas.
"Hampir saja kau kehilangan kesempatan menang." kata Dad.
"Ya, tapi tidak, kan?" kataku. Dad akhirnya membeli susu dari truk sialan itu lalu kami beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016