Aku masih mengurung diri di kamar sejak kejadian memalukan tadi sore. Cam berulang kali meneleponku, namun aku tidak sedang ingin bicara padanya. Aku sempat mengirim sebuah sms kalau aku tidak apa-apa sebelum aku mematikan ponselku.
Apa aku marah? Tentu. Siapa yang tidak kesal jika seseorang membuatmu gagal memberikan kado terbaikmu untuk orang yang kau istimewakan. Ya, memang, di sini aku tidak terlalu mengistimewakan Cam, namun aku benar-benar memedulikannya. Dan kedua, apa aku kecewa? Well, kau tidak perlu bertanya untuk mendapat jawabannya. Rasanya seperti dihantam barbel milik Dad. Benda itu menekanmu dengan keras dan tiba-tiba, menimbulkan nyeri yang tidak terkira.
Memang, menangis dapat membuatmu lega, tetapi hanya sedikit. Jika kau mengingatnya lagi kau akan merasakan hantaman yang sama, hanya saja kau lebih tegar.
Aku berusaha tenang namun otot diafragmaku kejang dan memaksaku untuk terus menangis. Aku menutup wajahku dengan bantal untuk meredam suara isakanku yang sangat buruk, seperti ringkikan kuda atau penderita asma.
Aku tahu ini sangat dramatis, dan mungkin kau sangat muak dengannya, tetapi ini kenyataan. Aku akhirnya berhenti menangis karena aku merasa waktuku terbuang hanya untuk meratapi sekotak kue. Aku bangun dari tempat tidur dan mencuci muka. Kau tahu, aku tampak 100% lebih buruk setelah aku menangis.
Aku akhirnya memutuskan untuk tidur lebih awal dan melupakan semua masalahku. Aku berganti baju lalu naik ke ranjang, menarik selimutku menutupi seluruh tubuh. Sepersekian detik setelah aku menutup mata, aku mendengar ketukan. Tapi ketukan ini bukan dari pintu kamarku melainkan pintu balkon. Aku mengintip dari balik selimutku dan mendapati Cam sedang melihatku dari balkon. Jantungku berdebar cukup keras. Aku ingin pura-pura tidur, tetapi melihat Cam dengan rambut kusut dan baju lusuhnya tadi sore membuatku kasihan. Secara teknis, memang aku tidak terima jika dia tiba-tiba berada di balkonku. Ah, tunggu. Balkon? Kenapa ini jadi seperti ketika aku kembali ke rumah Justin? Cam bertingkah sama sepertinya. Dia melakukan hal gila dengan memanjat ke kamarku.
Aku menunggu Cam untuk pulang tetapi dia tetap berdiri di sana selama beberapa menit. Akhirnya aku turun dari ranjang dan membuka pintu itu. Cam sangat gembira ketika aku melakukannya.
"Alexis." panggilnya.
"Apa yang kau lakukan di atas sini malam-malam?" tanyaku tenang.
"Aku ingin kau memaafkanku. Aku menunggumu tetapu kau tidak keluar seperti biasanya." katanya.
"Cam, aku sudah bilang aku baik-baik saja."
"Tidak ada yang baik dari perasaan seorang wanita yang baru saja kukecewakan." katanya.
"Aku tidak menganggapnya sebagai hal besar." kataku.
"Alexis, aku tahu kau lebih emosional dari ini, kau tidak perlu menutupinya." katanya lalu mengangkat tanganku, menyentuhkannya di pipinya
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku ingin kau menamparku dengan keras."
"Tidak, aku tidak akan melakukan itu."
"Alexis, tampar aku sekarang."
"Tidak akan." kataku lalu menarik tanganku perlahan.
"Aku tidak ingin membalasmu." kataku lagi.
"Alexis, aku tidak ingin kita berakhir di sini, aku tidak ingin hubungan kita berakhir seperti kau dan Justin. Aku tidak mau." katanya lalu berlutut.
"Maafkan aku." katanya. Aku ikut berlutut di depannya.
"Berdirilah." kataku seraya memegang kedua lengannya. Dia berpaling ke arahku. Rambut coklatnya tertiup angin, membuatku bisa melihat jelas wajah lelahnya. Kami bertatapan cukup lama. Aku menghela nafas panjang lalu tersenyum pasrah. Aku merangkulkan lenganku di pundaknya, memeluknya erat dengan tubuh kurusku.
"Sudahlah, aku lelah memikirkan hal yang tidak mengenakkan terus menerus. Dan aku tahu kau juga. Lebih baik kau melupakannya dan beristirahat." kataku.
"Aku tidak pernah mengecewakan seorang wanita pun sebelum ini. Dan aku benci melihatnya terjadi padamu." katanya pelan.
"Cam." panggilku seraya mengusap lembut rambutnya.
"Secara teknis ini bukan salahmu, dan lagipula aku bisa memahaminya." kataku. Aku bisa merasakan denyut jantungnya berubah lebih cepat.
"Kenapa kau begitu baik?" tanyanya.
"Cam, seseorang tidak bisa terus marah pada orang yang dia sayang."
"Alexis, terima kasih." katanya lalu memelukku.
"Tak apa. Sudahlah, ini hari ulang tahunmu, bodoh. Terlalu lancang bagiku untuk memberimu hadiah kesedihan di hari yang spesial." kataku. Dia memandangku takjub, mungkin dia mengira aku tidak akan kembali tenang secepat ini.
"Ooh, Cam. Tersenyumlah. Aku tidak akan menggigitmu." kataku seraya mencubiti pipinya. Tiba-tiba dia menahan tanganku di sana, seperti yang dia lakukan tadi.
"Aku tidak akan menamparmu." kataku.
"Tidak, bukan itu yang kumau." katanya.
"Lalu?" tanyaku. Aku bingung sejenak sebelum aku sadar kalau dia memintaku untuk menciumnya.
"Hm, kurasa ini hadiah yang sesungguhnya dariku. Well, happy birthday, baby." kataku. Aku mendekatkan wajahku ke Cam dan menempelkan bibirku ke bibirnya yang hangat.
Udara berubah lebih dingin segera setelah kami berciuman. Dan tebak apa? Salju pertama musim dingin telah turun! Aku melihat butiran putih yang jatuh dan berakhir di rambut Cam. Dia tertawa ketika aku membersihkannya.
Cam tidak ingin melepaskanku setelah kami berbaikan. Dia terus menggandengku ketika aku akan mengambilkan jaket untuknya. Dia bilang dia akan tetap hangat selama dia bersamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016