CHAPTER 11

136 18 0
                                    

Hari ini seharusnya aku sudah berada Montreal dan kembali ke sekolah formalku, tapi kenyataannya aku masih duduk manis di ruang tamu Grandma. Dan aku lebih senang berada di sini. Aku pikir aku bisa membujuk Dad (pada waktunya) untuk mengizinkanku tinggal, lagipula sekolah atlet hanya setengah jam dari sini.

Cam juga semakin dekat denganku, membuatku tidak enak hati untuk meninggalkannya. Aku menimbang-nimbang resiko kalau aku menelepon Dad dan memberitahukan keberadaanku saat ini. Aku sebenarnya tidak takut orang tuaku marah, hanya saja aku malas mendengar omelan mereka di telepon. Bayangkan, kau diteriaki oleh ayah dan ibumu bersamaan selama dua jam.

Aku yakin Dad telah mengumumkan perihal hilangnya aku di sekolah, atau di kantor polisi di seluruh Montreal, atau bahkan memasang foto SMPku di jalan-jalan (ya, Dad hanya punya satu fotoku, dan itu foto kelulusan SMP). Aku membayangkan wajahku yang berbintik dan pucat, dengan rambut kepang dua andalanku, serta kawat gigi yang setia memeluk deretan gigiku yang sudah mulai rata (sekarang aku melepasnya). Sungguh memalukan.

[skip]

Cam datang lagi, bukan untuk makan siang, tapi untuk mengajakku jalan-jalan. Cam benar-benar mengajakku jalan-jalan! Oh My God. Dia menghampiriku ketika aku sedang membantu Grandpa di halaman depan. Dia datang dengan sepeda "pengantar koran" kesayangannya, membuka pintu, dan ikut berjongkok di sebelahku.

"Hai." sapanya.

"Hai." jawabku seraya mengibaskan tanganku yang penuh tanah.

"Kau sibuk?" tanyanya.

"Ehm, tidak setelah ini." kataku.

"Jadi, kau tidak sibuk sampai makan malam?" tanyanya.

"Kurasa tidak."

"Ah, oke. Aku sebenarnya ingin mengajakmu jalan-jalan, kalau kau mau."

"Kedengarannya bagus. Jalan-jalan kemana?"

"Ehm, aku sebenarnya belum memutuskan. Tapi kurasa kau akan senang mengelilingi seluruh Westmont."

"Ah, oke. Aku ikut. Apakah kita akan naik sepedamu?" tanyaku. Cam melirik sepedanya.

"Well, ya. Kau keberatan?" tanyanya.

"Tidak, tidak sama sekali. Aku senang, kok." kataku lalu tersenyum.

"Baiklah. Aku akan menjemputmu pukul 3."

"Oke."

"Oke, see ya." katanya seraya melambaikan tangan.

"See ya too." kataku.

[skip]

Aku mengenakan kaus, skinny jeans dan sepatu lari kesayanganku. Aku berpamitan dengan Grandma dan Grandpa, lalu menghampiri Cam yang sudah menungguku dengan sepedanya.

"Kau siap?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Oke, let's go." katanya. Aku meletakkan bokong indahku dengan hati-hati (lagi) di kursi belakang sepeda Cam. Sepertinya dia baru memasangnya hari ini. Beruntung kakiku sudah membaik dan tidak rewel bila aku menekuknya untuk waktu lama.

Kami menyusuri South Normandie Ave sore hari. Los Angeles benar-benar indah, pikirku. Aku tak bisa berhenti memandang taman-taman kecil yang dibangun di tepi jalan setiap beberapa meter. Anak-anak kecil berlarian, melempar-lemparkan dedaunan musim gugur yang sudah dikumpulkan orang tua mereka di sisi halaman.

Cam mengajakku ke sekolahnya di SMA Westwood. SMA itu berdiri di depan bangunan tua yang mirip sebuah bank yang tak digunakan lagi. Cam dan aku beristirahat di tangga depan sekolah sambil memandangi jalanan.

"Untukmu." katanya seraya menyerahkan pepsi yang dibelinya dari mesin penjual otomatis.

"Terima kasih." jawabku. Aku baru saja ingin membuka kaleng itu ketika aku melihat mobil SUV berhenti di depan bank tua itu. Itu mobil Grace! Oh My God. Aku melihat Justin keluar sambil membawa kertas dengan fotoku.

"Cam, sembunyikan aku." kataku.

"Kenapa? Kenapa kau panik?" tanyanya.

"Grace dan Justin di sini, aku takut mereka menemukanku." kataku lalu menariknya ke balik gerbang sekolah.

"Ah, tunggu, pakailah jaketku lalu kita bergegas pulang sebelum mereka tahu." katanya.

"Hm, oke." kataku sambil melirik Justin yang sibuk menempelkanKU di dinding bangunan itu. Aku baru saja akan mengalihkan pandangan ketika mata kami bertemu.

"Sial, dia melihatku." kataku.

"Apa?" tanya Cam. Aku langsung menariknya turun dari tangga payah itu lalu mengambil sepeda Cam.

"Alexis!" teriak Justin. Aku mengabaikannya lalu menyuruh Cam naik di belakang. Dia sempat tidak mau tapi aku mengancamnya. Aku mengayuh sepeda besar itu pulang. Beban tubuh Cam membuatku lamban, tetapi aku memaksa diriku untuk terus berjalan. Mobil SUV itu mengejar kami hingga empat blok lalu menghilang. Kukira mereka terkecoh dengan pesepeda lain yang berlalu lalang di sana.

Aku menghentikan sepeda Cam di sebuah pertigaan.

"Kau tak apa?" tanya Cam. Aku masih berusaha mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Debu jalanan membuat tenggorokanku perih.

"Aku tak apa." kataku dengan susah payah.

"Mereka sudah tidak mengejar kita lagi. Ayo, kuantarkan kau pulang." katanya.

"Maafkan aku. Aku merusak perjalanan kita." kataku lalu terisak. Aku tak bisa menahannya.

"Hey, tak apa. Aku lebih mementingkan keamananmu daripada perjalanan ini." katanya.

"Maafkan aku." kataku lagi.

"Iya, aku memaafkanmu. Sudahlah, Alexis, jangan menangis." katanya.

"Biar aku yang mengayuh." katanya lagi. Aku turun dan berpindah ke belakang masih sambil terisak. Cam mengantarku pulang.

Kepalaku hampir meledak ketika aku melihat mobil SUV itu lagi di depan rumah Grandma. Godness!

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang