Tidak ada kabar apa-apa dari Justin. Kukira dia telah memberitahu Dad kalau aku ada di sini, tapi sampai sekarang tak ada yang menjemputku, atau memaksaku pulang, bahkan tidak ada yang menelepon Grandma untuk menanyakanku. Aku sempat khawatir kalau-kalau aku disergap Dad dan dimasukkan ke SUV Grace, tapi tidak terjadi apa-apa.
Musim gugur di Westmont hampir mencapai puncaknya. Cam semakin sibuk mengantarkan koran-korannya yang bertambah banyak. Dia juga tidak lagi sempat untuk menemaniku. Sebentar lagi dia masuk sekolah, dan itu artinya aku akan sendirian sampai dia pulang, atau bahkan sendirian selamanya. Mungkin dia akan mendapat banyak tugas dan tidak bisa bertemu denganku lagi. Entah mengapa aku merasa kecewa.
Setelah sekitar dua minggu aku mengenalnya, aku baru mendapat nomor ponselnya kemarin. Cukup aneh. Kami sudah pergi bersama kemana-mana, dan bahkan berciuman lebih dari sekali, tapi kami belum pernah menelepon atau mengirim sms satu sama lain.
Ketika aku mendapat nomornya, aku justru memikirkan Dad. Aku semakin merasa tidak enak pada semua orang. Grandpa menyarankanku untuk mengatakan apa adanya pada orang tuaku, dia yakin mereka akan mengerti. Hal ini membuatku tidak bisa tidur semalaman. Aku menyeret tubuhku ke balkon kamarku. Aku duduk diam sambil memandangi kontak Dad di ponselku yang mulai kehilangan daya.
Krak! Suara dedaunan kering mengagetkanku. Ada yang melempar batu ke arahnya. Aku mencari-cari si pelempar namun malam itu terlalu gelap, bahkan tidak ada cahaya bulan yang menerangi jalan atau atap-atap rumah.
Aku sempat berpikir bahwa itu adalah sinyal bagiku untuk segera menelepon Dad. Ya, aku tahu ini tidak ada hubungannya, tapi jariku tanpa sengaja menekan tombol panggilan di nomor Dad setelah itu. Aku ragu.
"Halo?" panggil Dad di seberang sana.
"Dad. Ini aku, Alex." kataku. Bersiap menerima omelan ayahku.
"Alexis? Kemana saja kau selama ini?" tanya Dad dengan nada meninggi.
"Dad, aku mohon dengarkan aku dulu. Aku ada di rumah Grandma. Aku kabur dari rumah Justin karena aku tidak tahan dengan sikapnya dan Grace yang memuakkan. Mereka meluapkan segala hasrat mereka sebagai sepasang kekasih di depanku, dan itu sangat menggangguku. Maafkan aku, aku menyuruh Grandma membohongimu, aku mengaku aku salah besar. Sekarang kalau kau ingin memarahiku, atau membawaku pulang, aku tak apa, aku akan menebus kesalahanku dan meminta maaf pada semua orang." kataku tanpa jeda. Aku tidak ingin Dad menyelaku seperti yang biasa dilakukannya. Ada jeda panjang sebelum Dad memulai lagi.
"Astaga Tuhan. Alexis, Dad akan mencarikanmu tempat tinggal lain kalau kau bilang pada Dad dari awal. Mom dan Dad sangat mengkhawatirkanmu. Kamulah anak satu-satunya di keluarga ini. Kami tidak ingin kehilanganmu, Alexis." kata Dad. Aku cukup terkejut mendengarnya tidak marah.
"Aku melakukan hal sangat bodoh, maafkan aku Dad, kumohon." kataku berusaha tenang. Air mataku hampir keluar.
"Dad tidak akan membiarkanmu pergi tanpa sepengetahuanku lagi." katanya.
"Iya, aku minta maaf."
"Baiklah, Dad memaafkanmu, aku akan menjemputmu besok pagi."
"Baik." kataku. Telepon ditutup. Aku berusaha menghadapi kenyataan kalau besok aku akan meninggalkan semua kebahagiaanku di sini. Grandma, Grandpa, dan Cam.
"Alexis!" panggil seseorang tiba-tiba. Aku melihat ke jalanan dan menemukan Cam. Sepertinya dia memandangku dari tadi.
"Cam? Kenapa kau di sini?" tanyaku heran.
"Aku mempunyai firasat aneh, aku terus memikirkanmu. Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.
"A-aku baru menghubungi Dad. Ah, tunggu, aku akan turun." kataku lalu bergegas keluar.
"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Cam ketika aku sampai di depannya.
"Dad. Dia akan menjemputku besok pagi." kataku. Tanpa sadar aku terisak. Cam segera mendekapku.
"Hey, kenapa kau menangis?" tanyanya seraya mengusap punggungku.
"Aku tidak ingin pulang." kataku.
"Mereka membutuhkanmu, Alex."
"Ya, tapi aku tidak ingin meninggalkanmu."
"Oh, Alexis, kau bisa meneleponku kapanpun kau mau." katanya. Angin malam semakin menusuk kulitku.
"Aku ingin bersamamu." kataku. Cam mendekapku semakin erat.
"Aku bisa pergi ke rumah Justin kalau kau mau."
"Tapi, bagaimana kalau Dad membawaku ke Kanada?"
"Well, aku akan mencari cara untuk tetap menemuimu. Jangan menangis, Alex. Kumohon." katanya. Setiap kata Cam menggantung di udara. Aku menangis semakin keras, membasahi bahu jaketnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016