Dengar, aku merasa bodoh. Sekarang aku tinggal dengan lelaki payah yang merengek memohonku untuk tinggal. Secara fisik memang aku masih ada di sini, di dekatnya, tapi pikiranku berkelana ke mana-mana. Kupikir Justin takut kalau aku suka pada Cam. Dia terlihat tidak senang setiap kali aku membalas sms Cam. Dia terus berusaha mengajakku bicara tentang masa lalu kami, ketika kami bersama sebagai sahabat. Aku kira dia ingin menghapus ingatanku tentang Cam, dan membuatku kembali memprioritaskan dirinya, seperti yang dulu kulakukan. Tapi kurasa dia tidak akan pernah bisa.
Akhirnya Justin merasakan hal yang sama sepertiku. Dia tidak berhak menghalangiku untuk berhubungan dengan Cam, sama seperti aku tidak berhak menghalanginya berhubungan dengan Grace. Aku tidak bermaksud membalasnya, sungguh, aku tidak suka membalas perbuatan orang lain padaku. Terlalu banyak hal lain yang lebih penting daripada balas dendam. Aku tak tahu, mungkin karma memang ada.
Cemburu satu sama lain tidak lagi berguna. Sebesar apapun rayuan Justin tidak akan bisa membuatku lupa akan Cam. Dia tidak bisa memukulku dengan palu atau menjatuhkanku dari balkon kamarku untuk membuatku amnesia. Kami berdua sadar, kami akan selalu bertemu orang baru setiap saat. Dan dalam perjalanannya, kami tidak mungkin hanya bertemu tanpa menyapa. Dan kami tidak bisa memungkiri bahwa mau tidak mau, kami akan mengenal mereka, dekat dengan mereka, bahkan lebih dekat dari kami berdua. Aku sudah menyadarinya sejak aku mengenalnya, tetapi kurasa Justin baru mengerti sekarang. Hal ini yang terkadang membuatku kesal padanya.
[skip]
Dad membangunkanku pagi-pagi sekali. Dia bilang kami harus segera pergi sebelum rumah incaran Dad dibeli orang lain. Kurasa ini tidak masuk akal, tetapi aku hanya mendengus lalu masuk kamar mandi. Aku bersiap lalu turun. Dad bilang lebih baik kami makan di luar nanti, jadi kami langsung berangkat. Dua puluh menit setelah aku pergi, Justin meneleponku.
"Hey." kataku.
"Hey, Alex. Kau di mana?" tanyanya.
"Aku pergi dengan Dad. Maaf aku tidak bilang padamu. Kukira kau masih tidur." kataku seraya melihat rumah-rumah yang diincar Dad.
"Ah, tak apa. Aku hanya takut kau pergi lagi."
"Tidak akan, tenanglah Justin."
"Hmm, oke. Hati-hati." katanya.
"Thank's."
"Welcome."
"Ehm, aku akan meneleponmu lagi nanti."
"Ah, baiklah, dah."
"Dah."
[skip]
"Alexis." panggil seseorang ketika aku sedang menunggu Dad bernegosiasi. Aku melihat Cam dengan kaus tertutup jaket abu-abu dan celana khaki kesukaannya, berdiri di depanku seraya tersenyum lebar.
"Cam!" pekikku bahagia. Aku memeluknya erat.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanyaku.
"Well, aku melewati kelas pertama lalu jalan-jalan."
"Beraninya kau." kataku lalu tertawa.
"Sungguh, aku tidak tahu aku akan bertemu denganmu di sini. Aku bahkan tidak yakin hal apa yang kulakukan." katanya.
"Kau bersepeda ke sini?" tanyaku.
"Tidak, aku meminjam motor sepupuku." katanya, pipinya merona.
"Ah, jadi kau menyelinap dari sekolah, meminjam motor, lalu jalan-jalan. Hm, oke." kataku seraya mengangguk. Cam tertawa.
"Hey, ini bukan pertama kalinya." katanya.
"Kukira kau sudah melakukan ini lebih dari... lima kali."
"Sepuluh kali dalam dua tahun ini." katanya bangga.
"Kau gila." kataku lalu tertawa.
"Hey, kau sedang apa di sini?" tanyanya.
"Hm, aku menunggu Dad berunding tentang rumah baru kami."
"Ah, jadi kau sudah memilihnya?"
"Hm, ya."
"Ah, oke. Satu jam jauhnya dari sekolahmu."
"Yeah, ah, sebenarnya aku tidak ingin berada di sini." kataku.
"Kau tidak-"
"Alex." panggil Dad.
"Ya?"
"Dad tidak punya cukup uang untuk membayarnya." katanya sedih.
"Kau tidak mencoba membujuk mereka?"
"Dia bersikeras mempertahanakannya. Dia bahkan mengancam untuk memanggil security. Ah, Dad merasa payah." katanya.
"Ehm, Dad?"
"Ya?"
"Aku bisa tinggal di rumah Grandma, sekaligus membantu mereka. A-aku janji tidak akan merepotkan mereka." kataku gugup.
"Grandma? Kau yakin."
"Hm, ya."
"Well, aku harus meneleponnya terlebih dahulu."
"Baiklah." kataku. Tiba-tiba Dad melihat Cam.
"Temanmu?" tanyanya kepadaku.
"Hm, ya. Tetangga Grandma." kataku.
"Ah, oke." kata Dad lalu menyalami Cam.
"Neil." kata Dad.
"Cameron." kata Cam malu. Dad menanyakan bagaimana kami bisa bertemu dan aku menceritakannya. Dad mengajak Cam mengobrol sebentar lalu mengajakku pulang.
"Well, kurasa kita harus segera kembali." katanya.
"Hm, oke. Bye, Cam."
"Bye. Be careful." katanya seraya menyunggingkan senyum. Aku membalas senyumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016